Selasa, 07 Agustus 2007

Regulasi emosi, Need of achievemnt, dan self-esteem antara perempuan dan laki-laki

egulasi Emosi, Need of Achievement, dan Harga-diri Ditinjau
dari Jenis Kelamin

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. MSi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Banyak aspek yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan itu merupakan hal yang wajar adanya. Terkadang banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda-beda terkait dengan perbedaan aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa perlu dilakukan penelitian untuk mencari perbedaan aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki. Salah satu alasan mendasar adalah agar bisa ditetapkan model perlakuan yang tepat berdasar jenis kelamin sehingga melalui perlakuan yang tepat tersebut diharapkan akan lebih memacu pengembangan potensi diri anak perempuan dan laki-laki secara optimal. Alasan kedua adalah untuk menghapuskan bias gender akibat kesimpulan hipotesis akan perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan regulasi-emosi, motivasi berprestasi dan harga diri ditinjau dari jenis kelamin. Subyek penelitian adalah mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Dua puluh satu mahasiswi dan dua puluh mahasiswa. Analisis data mengunakan teknik multivariat analisis dan diolah melalui program spss 10.0 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan hanya terbukti pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dengan perempuan. Ditunjukkan melalui nilai Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda. Hotteling’s trace, Roy’s largest root dengan F = 635.921, p = 0.000, dan test of between-subject effects dengan nilai F = 746.328 p = 0,000. Sedangkan regulasi emosi dan harga-diri secara individual tidak berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan (test of between subject-effects dari regulasi emosi dengan nilai F= 2.710 p = 0.108 dan harga-diri dengan nilai F= 0.972 p = 0.330). Mean motivasi berprestasi (n-Ach) mahasiswi ternyata lebih kecil dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa yaitu 31,1 < 95.16. Kesimpulan sementara yang dapat diambil dari penelitian ini adalah selain terdapat perbedaan dalam aspek psikologis antara laki-laki dan perempuan, ternyata terdapat pula kesamaan relatif antara keduanya.

LATAR BELAKANG MASALAH

Banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda-beda tentang perbedaan aspek psikologis antara remaja perempuan dan laki-laki. Ada yang menghipotesiskan perbedaan dan ada pula yang menghipotesiskan persamaan (Kostink & Fouts, 2002; Hyde, 2005). Tentu saja hasil yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa ada kesimpulan yang belum final. Tetapi kebanyakan ahli psikologi memandang dan lebih condong pada pendapat bahwa memang ada perbedaan yang jelas dalam aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki (Hyde, 2005).
Pendapat yang mengatakan bahwa memang ada perbedaan secara psikologis (psychological gender differences) menimbulkan bias gender yang berdampak negatif terhadap kaum perempuan. Dampak ini memasuki banyak wilayah seperti pekerjaan, pola asuh dan hubungan sosial. Sebagai contoh Gilligan (Hyde, 2005) berpendapat bahwa perempuan lebih cenderung berbicara tentang aspek kasih sayang (women as caring and nurturant), sedangkan laki-laki lebih banyak berbicara tentang aspek keadilan (justice). Tetapi ide Gilligan (Hyde, 2005) ini kemudian menjadi sangat mempengaruhi budaya masyarakat Amerika. Akibatnya muncul stereotipe di masyarakat Amerika yang mengatakan bahwa perempuan memiliki kemampuan memberi kasih sayang dan pengasuhan, sedangkan laki-laki sebaliknya kurang dalam kemampuan memberikan kasih sayang dan pengasuhan. Hal ini kemudian menyebabkan kaum laki-laki mempercayai bahwa mereka tidak bisa memberikan kasih sayang dan mengasuh anak-anaknya, walaupun seandainya mereka menjadi seorang ayah kelak.
Dampak negatif bagi perempuan yang digambarkan lebih penuh kasih sayang dibandingkan laki-laki ini di dunia kerja juga merugikan. Perempuan yang dinilai kompetitif dan melawan stereotipe penuh kasih sayang (caring) cenderung mendapatkan penilaian negatif dari atasannya, sedangkan laki-laki yang kompetitif dianggap sebagai sebuah kewajaran (Hyde,2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hyde (2005) dengan pendekatan meta-analisis menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan yang besar terjadi pada aspek kekuatan otot dalam melempar (d = 1.98), kebiasaan masturbasi (d = 0.96), sikap terhadap perilaku seks bebas (d = 0.81) dan tindakan agresif secara fisik ( d = 0.59). Penelitian yang dilakukan oleh penulis diantaranya bertujuan untuk mengurangi bias gender terutama pada aspek psikologis yang ditujukan pada kaum perempuan. Penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan regulasi emosi, harga diri dan motivasi berprestasi antara mahasiswa perempuan dan laki-laki.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Harga Diri

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa harga diri berperan penting dalam individu. Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab.
Harga-diri mencakup aspek evaluasi terhadap diri sendiri, sejauhmana kita menilai diri kita secara positif/baik dan negatif/buruk. Harga-diri bisa dikatakan sebagai seberapa jauh kita menilai dan menghargai keseluruhan diri kita sendiri. Harga-diri sendiri biasanya terbagi dalam beberapa dimensi atau aspek seperti keterampilan kognitif, keterampilan fisik, atau keterampilan sosial. Harga diri berkembang bersamaan dengan pengalaman-pengalaman kita dari hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Sebagai contoh, jika kita di masa lalu banyak meraih prestasi yang dibanggakan, maka pengalaman ini akan menjadi dasar bagai pengembangan harga-diri kita yang positif. Harga-diri yang positif dibentuk oleh prestasi-prestasi yang pernah kita peroleh di masa lalu, sehingga semakin banyak prestasi yang kita peroleh maka akan semakin positif harga-diri kita (Mussen dkk, 1994).
Sebaliknya, pengalaman kegagalan di masa lalu akan menjadi penyebab terbentuk harga-diri yang negatif. harga diri merupakan hasil dari prestasi-prestasi kita di masa lalu, sehingga karenanya penting bagi kita untuk meraih prestasi-prestasi yang bagi kita sendiri membanggakan agar harga-diri kita lebih positif.
Menurut Fleming & Courtney (1984) harga-diri terbentuk dari tiga faktor psikososial dan dua faktor fisik. Tiga faktor psikososial tersebut adalah penghargaan-diri (self-regard), kepercayaan-sosial (social-confidence), dan kemampuan/prestasi sekolah (school ability). Dua faktor fisik yaitu penampilan (appearance) dan kemampuan (ability).
Rosen dkk (1982) menjelaskan bahwa orang-orang dengan harga-diri yang rendah ternyata mengalami lebih banyak kesulitan ketika menghadapi masalah atau hambatan. Mereka menunjukkan dan memiliki strategi coping yang rendah serta kompetensi yang rendah pula. Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab.
Harga diri merupakan sebagai penilaian diri yang dilakukan oleh seseorang individu dan biasanya berkaitan dengan diri sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukan beberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga (Coopersmits, 1967).
Seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memiliki tindakan serta pemikiran yang positif, memiliki perasaan percaya diri, kreatif, yakin pada diri sendiri, dan berani. Harga diri merupakan bagian dari kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku individu. Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (1967), bahwa harga diri hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu. Contoh salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap harga diri ditunjukkan oleh Krimmel (dalam Koentjoro,1989), yang menyimpulkan pendapat dari para ahli dan menyatakan bahwa wanita mempunyai harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding laki-laki. Apakah pendapat ini betul adanya, tentu saja kita perlu mengujinya secara empirik.
Coopersmith (1967) menjelaskan hal-hal yang dapat menaikkan harga diri seseorang adalah dengan keberhasilan yang diperoleh selama dirinya berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan itu sendiri antara lain: a. Power, kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain; b. Virtue, kesesuaian diri dan kecemasan dalam mengemukakan tentang dirinya; c. Significance, penerimaan perhatian dari keluarga; d. Competence, kesuksesan dan perasaan katidakpuasan.
Beberapa pendapat mengemukakan bahwa harga diri seseorang akan berbeda antara individu satu dengan individu yang lain, sehingga muncul penggolongan, yaitu individu yang punya harga diri tinggi dan harga diri yang rendah. Individu yang mempunyai harga diri tinggi akan memiliki perasaan yang positif, namun individu dengan harga diri yang rendah akan memiliki perasaan yang kurang positif.

2. Motivasi Berprestasi

Kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja. Kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Remaja yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika menghadapi masalah akan melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk memecahkan masalahnya. Mereka cenderung memilih cara-cara konstruktif dan menghindari kompensasi negatif ketika menghadapi suatu masalah (Wenar & Kering, 2000).
Motif berprestasi ini ditandai dengan dorongan dari individu untuk memperoleh kesuksesaan yang maksimal, menyukai tantangan pekerjaan, ingin menghasilkan prestasi yang tinggi dan semangat bersaing untuk menjadi yang terbaik. McClelland meneliti motif ini melalui sebuah tes yang dinamakan TAT (The Tematic Apperception Test) yaitu sebuah tes psikologi yang berisi gambar-gambar manusia yang sedang beraktivitas di dalam berbagai setting dan kondisi. Sebagai contoh gambar seorang pria yang sedang duduk dimeja kerjanya, didepannya ada lembaran kertas, di mejanya ada foto keluarganya, dan gambar ini bisa menimbulkan interpretasi ganda dengan melihat bahwa laki-laki itu seperti menatap foto keluarganya dan seperti berkonsentrasi pada pekerjaannya (McClelland. 1985).
Menurut McClelland, motif berprestasi ini harus dikembangkan dan ditumbuhkan pada anggota organisasi, untuk menjamin kemajuan organisasi itu sendiri. Motif ini bisa ditingkatkan melalui pelatihan yang dirancangnya dengan para koleganya yang biasa disebut sebagai AMT (Achievement Motivation Training). Menurut McClelland, ada empat ciri utama dari individu-individu yang memiliki n Ach tinggi yaitu :
a. Mereka-mereka ini lebih memilih tugas-tugas yang menantang dengan resiko yang sedang (moderate risk taking). Individu dengan n Ach yang tinggi ini lebih memilih tugas-tugas yang mengandung resiko sedang, artinya mereka secara hati-hati mengkalkulasikan berapa persen tingkat kegagalannya dan berapa persen tingkat kesuksesaanya. Jika tingkat kegagalannya lebih besar, maka mereka berusaha untuk tidak menerima tugas tersebut. Mereka ini memiliki sikap yang realistis sekaligus pragmatis ketika berusaha mencapai dan memenuhi tujuan prestasinya.
b. Membutuhkan umpan balik yang segera (need for immediate feedback). Individu dengan n Ach yang tinggi lebih menyukai tugas-tugas yang memberikan umpan balik segera dan spesifik, sehingga mereka bisa mengukur kemajuan setiap tindakannya menuju tujuan. Pekerjaan yang disukai mereka seperti marketing yang menyediakan secara cepat hasil dari usahanya dengan kriteria yang jelas dan objektif yaitu angka penjualan produk.
c. Kepuasaan secara instrinsik dari penyelesaiaan tugas (satisfaction with accomplishments). Individu dengan n Ach tinggi lebih puas akan penyelesaian tugas secara instrinsik dari pada kepuasan ekstrinsik seperti uang. Mereka ini tidak berorientasi pada hadiah ekstrinsik seperti uang, dan hanya menganggap uang/bonus hanya sebagai ukuran atas prestasi kerja mereka, dan bukan tujuan utamanya (McClelland. 1985).
McClelland (1985) juga menegaskan bahwa kemajuan suatu bangsa di tentukan oleh seberapa besar motivasi berprestasi dimilki oleh sebagain besar masyarakatnya. Semakin banyak suatu bang memiliki orang-orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, maka akan semakin maju bangsa tersebut. Sebut saja misalnya Bangsa Jepang, Inggris, Amerika, dan Prancis yang merupakan negara-negara maju dan memiliki pengaruh bagi negara-negara lainnya. Di bawah ini dijelaskan juga beberapa motif-motif yang penting.

3. Regulasi Emosi

Thompson (1994) mendefinisikan regulasi-emosi sebagai kemampuan untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional individu untuk mencapai tujuan individu tersebut. Indikator dari regulasi emosi adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan memonitor (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latarbelakang dari tindakannya. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lainnya, yang berarti kesadaran-diri ini akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lain. Arti lainnya adalah individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul.
2. Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangakan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengruh secara mendalam, sehingga mengakibatkannya tidak mampu lagi berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci, dia kemudian mampu menerima perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha menolaknya dan kemudian berusaha menyeimbangkan emosi tersebut secara konstruktif. Misalnya melihat peristiwa yang menimbulkan kekecewaan dan kebencian dari sudut pandang yang lebih positif, mengambil hikmah di balik masalah tersebut atau mencoba untuk memaafkan diri sendiri atau orang lain yang terlibat dalam masalah tersebut. Akibatnya dia mampu meredakan kekecewaannya dan kebenciannya tersebut, sehingga tidak berlarut-larut terombang-ambing dalam kekecewaan dan kebencian.
3. Kemampuan memodifikasi (emotions modifications) yaitu kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian tupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini kemudian membuat individu mampu menumbuhkan optimisme dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar, tidak pernah mudah putus asa dan kehilangan harapan.
Salah satu faktor predisposisi yang ikut berrtanggungjawab atas penyalahgunaan napza adalah adanya kecemasan dan depresi pada individu (Gossop, 1994). Semakin tinggi tingkat depresi dan kecemasan yang dialami individu, maka akan semakin besar resikonya untuk terlibat penyalahgunaan napza. Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Individu yang mampu mengelola emosi-emosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi (Thompson, 1995;Goleman, 1995).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaif dengan melakukan perbandingan (comparatif studies) antara beberapa variabel dari dua kelompok yang berbeda. Untuk menguji data digunakan multivariat analisis karena membandingkan lebih dari satu variabel tergantung secara bersama-sama (Ghozali, 2005). Analisis data menggunakan program SPSS 15.0 for windows.
Jumlah total subyek penelitian sebanyak 41 orang mahasiswa psikologi Univeristas Ahmad Dahlan Yogyakarta semester IV. Terdiri dari 21 mahasiswa perempuan dan 20 mahasiswa laki-laki.
Data diambil menggunakan skala regulasi emosi, skala motivasi berprestasi dan skala harga-diri yang dibuat sendiri oleh penulis berdasarkan beberapa teori yang ada. Skala penelitian ini digunakan setelah diuji reliabilitas dan validitasnya. Skala harga-diri memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.813, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.245 – 0.556. Skala regulasi-emosi memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.823, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.234 – 0.600. Skala motivasi berprestasi memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.813, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.260 – 0.593.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan regulasi-emosi, harga-diri dan motivasi berprestasi. Kemudian perbedaan yang signifikan hanya terbukti pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dengan perempuan. Ditunjukkan melalui nilai Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda. Hotteling’s trace, Roy’s largest root dengan F = 635.921, p = 0.000, dan test of between-subject effects dengan nilai F = 746.328 p = 0,000. Sedangkan regulasi emosi dan harga-diri secara individual tidak berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan (test of between subject-effects) dari regulasi emosi dengan nilai F= 2.710 p = 0.108 dan harga-diri dengan nilai F= 0.972 p = 0.330). Mean motivasi berprestasi (n-Ach) mahasiswi ternyata lebih kecil dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa yaitu 31,1 < 95.16.
Hasil diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan hanya terdapat pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada regulasi-emosi dan harga-diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Hyde (2005) terutama pada konstruk harga-diri yang menghasilkan besaran efek yang kecil (small effect 0.11 < d < 0.35). Artinya harga diri antara perempuan dan laki-laki tidak berbeda jauh. Artinya baik perempuan maupun laki-laki memiliki tingkat harga diri yang relatif sama. Berkaitan dengan regulasi-emosi, hasil penelitian ini mematahkan asumsi stereotipe bias gender yang mengatakan bahwa perempuan lebih emosional, lebih mementingkan perasaan atau tidak mampu meregulasi emosinya. Sehingga kesimpulan sementaranya adalah kemampuan meregulasi emosi antara perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda dan relatif sama.
Bagaimana motivasi berprestasi bisa berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan pada penelitian ini?. Beberapa hasil penelitian yang ada menunjukkan hasil yang bervariasi. Ada penelitian yang menunjukkan perbedaan motivasi berprestasi, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh apa yang dilakukan Teglasi (2005) dalam sebuah penelitian eksperimentalnya menemukan bahwa perempuan yang memiliki peran feminis tradisional ternyata lebih rendah skor motivasi berprestasinya dibandingkan dengan perempuan yang memiliki peran feminis non tradisional. Hasil penelitian Teglasi (2005) ini mungkin bisa menjelaskan bagaimana penelitian ini menunjukkan tingkat motivasi berprestasi yang berbeda. Motivasi berpretasi mahasiswa perempuan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. Ada kemungkinan mahasiswa perempuan yang menjadi subyek penelitian ini memiliki peran gender feminis tradisional. Akibatnya ada nilai-nilai tradisional yang dibebankan pada perempuan ini, justru menghambat ekspresi dari motivasi berprestasinya. Nilai-nilai tradisional tersebut seperti lebih menekankan pada nilai keibuan, tidak boleh menunjukkan sikap kompetitif yang berlebihan, nilai kepatuhan pada suami, perempuan harus berperan pasif, tidak boleh menampakkan ambisi dan nilai yang mengharuskan perempuan ketika dewasa hanya menjadi istri di rumah. Nilai-nilai inilah yang kemungkinannya mempengaruhi subyek mahasiswi perempuan untuk tidak terlalu berambisi mencapai prestasi setinggi mungkin dalam hidupnya. Akibatnya skor motivasi berprestasi mereka menjadi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan.
Bandingkan dengan penelitian Chusmir (1985) yang meneliti tentang motif berprestasi, afiliasi dan kekuasaan dengan subyek berjumlah 124 manager yang terbagi menjadi 62 manager laki-laki dan 62 manager wanita menemukan bahwa manager perempuan ternyata lebih tinggi skor motivasi berprestasinya dibandingkan dengan manager laki-laki. Sedang motif afiliasi dan powernya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Penelitian Chusmir (1985) diatas menunjukkan hasil yang sebaliknya bahwa manager perempuan ternyata lebih tinggi motivasi berprestasinya dibandingkan dengan manager laki-laki.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian ini hanya menunjukkan adanya perbedaan tingkat motivasi berprestasi antara mahasiswa perempuan dengan laki-laki. Mean motivasi berprestasi mahasiswa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa laki-laki (Mean = 31,1 < 95.16). Untuk itu perlu mendorong mahasiswa perempuan untuk lebih meningkatkan motif berprestasinya melalui pelatihan-pelatihan pengembangan motivasi berpestasi.

Daftar Pustaka

Chusmir,H. Leonard.1985. Motivation of Managers: Is Gender a Factor ?.Psychology of Women Quarterly. Volume 9 Issue 1 Page 153Issue 1 - 159

Coopersmith. 1967. The Antacedens as Self Esteem. USA: W.H. Freeman and Company.

Fleming, , J.S, & Courtney, B.E. 1984. The Dimensionality of Self-esteem : Hirarchical facet model for revised measurement scales. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 404-421.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ketiga. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Goleman, Daniel. 1995. Kecerdasan Emosi. Terjemahan. Jakarta : Gramedia.

Gossop, Michael. 1994. Drug and Alcohol Problems: Investigation. Dalam Lindsay & Powell (Eds). The Handbook of Clinical Adult Psychology. New York : Routledge.

Ghozali, AM & Fuad. 2005. Struktural Equotions Modelling : Teori & Praktek. Semarang : Penerbit Undip.

Hyde, Shibley. Janet. 2005. The Gender Similarities Hypothesis. American Psychologist. September. Vol 6, No 6, 581-592.

Kartono, K. 1995. Psikologi Anak. Psikologi Perkembangan. Bandung: Mandar maju.

Kostiuk, M Lynne & Fouts, T Gregory. 2002. Understanding of Emotions and Emotion Regulation in Adolescent Females with Conduct Problems : A Qualitatif Analysis. The Qualitative Report. Vol 7, Number 1.

McClelland, D. 1985. Achievemnet Motivations Trainning.

Mussen, P.H, Conger, J.J., kagan, J., Huston, A.C. 1984. Perkembangan dan Kepribadian Anak. Cetakan II. Jakarta : Penerbit Arcan.

Riepe, M.S. 2001. Effects of Education Level and Gender on Achievement Motivation2002-07 Psi Chi, The National Honor Society in Psychology

Teglasi, Hedwig. 2005. Sex-role orientation, achievement motivation, and causal attributions of college females. Sex roles. Volume 4, Number 3 .

Thompson, G. 1994. Emotion Regulation: Theory & Reseach. USA : Jhon Wiley &
Sons.

Safaria, Triantoro. 2007. Perbedaan Tingkat religisuitas, Harga-diri, Regulasi-emosi dan Motivasi berprestasi antara siswa SMA perempuan dengan siswa SMA laki-laki. Laporan penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Tidak ada komentar: