Selasa, 07 Agustus 2007

Mengapa Spiritual Intelligence Penting bagi Anak : Sumbangan Pemikiran Psikologi Islam dalam Pendidikan Anak di Keluarga.


Triantoro Safaria, S psi. Psi. MSi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Email : safaria_diy@yahoo.com.
Hp : 0815-7881-5029.

Di Indonesia saat ini, banyak kasus kriminal dan sadistis yang dilakukan oleh remaja. Mulai tindakan membunuh, merampok, mencuri, hingga pemerkosaan. Mengapa seorang remaja bisa melakukan tindakan sadis bahkan diantaranya membunuh ibu kandungnya sendiri. Jika dilihat dari banyak aspek, salah satu sebabnya adalah terjadinya kekosongan spiritual dalam diri remaja. Akibat dari terjadinya kekosongan spiritual (spiritual emptiness and meaningless) ini, remaja mudah sekali terjurumus dalam tindakan keji dan dikendalikan oleh hawa nafsunya sendiri. Bagiamana solusi atas masalah di atas. Solusi mendasar yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan dan pola asuh yang mengembangkan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dalam keluarga.
Bagaimana pendidikan dan pola asuh yang efektif untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Di sinilah konsep-konsep psikologi islami bisa diterapkan dan didayagunakan untuk mengembangkan remaja yang tangguh, beriman, bertakwa dan sukses dunia akhirat. Karena keluarga merupakan tempat utama dan pertama untuk membentuk kepribadian dan kecerdasan spiritualnya. Orang tua tentu saja sangat berperan aktif dalam proses pembentukan remaja yang cerdas secara dunia dan akhirat. Makalah ini akan menyajikan beberapa konsep psikologi islami yang bisa diterapkan dalam pendidikan dan pengasuhan remaja di keluarganya.

Kata kunci : spiritual intelligence, pola asuh, remaja dan psikologi islami.

Abstract


Why Spiritual Intelligence Very Important for Children. Contribution of Islamic Psychology’s Concepts for Child Education and Parenting in family.


Recently in Indonesia, there were many criminal and sadistic cases evolving adolescent. From homicide, robbery, bulgerly, to rape. Is the world became very horrible. Why adolescent can do that sadistic actions, event kill his mother for simple reason. If we see at the multiple aspects, one of many factor that trigger sadistic actions is spiritual emptiness and meaningless in adolesecence’ lifes. It condition makes adolescent vulnerable and very easy to be controlled by their’ evil desires or hawa nafsu syaithaniah. So they can’t regulate many aspects in their lifes in apropriate manner.
How can we solve that problems ?. The first and mayor solutions is by education and parenting styles in family that focus and improve the process of spiritual intelligence development. How and what’s efective parenting that focus to improve the process of spiritual intelligence development ?. Islamic psychology’s concept can be implemented and used for that goal so we can make different for it. Islamic psychology not just the sum of theory or assumptions that not work at all. Islamic psychology can and will give the best contributions for development the spiritual intelligence of adolescence. We just have to promote and dessiminate the concept and useful practices of Islamic psychology for parent and society. So we will reach and build the strong, smart, and faithfull muslim society in Indonesia.

Key word : spiritual intelligence, parenting, adolescence and Islamic psychology.


PENDAHULUAN

Menjelang siang pada suatu rumah, kesunyian tidak sepertinya menyimpan suatu persitiwa besar yang mengiris hati. YD, remaja laki-laki berusia belasan tahun membunuh seluruh anggota keluarganya tanpa belas kasihan. Tiga kakaknya meninggal. Bahkan ibunya sendiri pun ikut dihabisi mengunakan sebilah besi. Setelah beberapa saat dia menghabisi keluarganya, secara tak terduga datanglah dua orang temannya. YD membujuk dua temannya untuk membantu membereskan mayat keluarganya. Tentu saja kedua temannya itu sangat takut dan bergidik dengan apa yang dilihatnya. Dengan perasaan tak menentu, mereka berdua pun memilih pulang, lalu memberitahu orang tuanya. Dari laporan kedua temannya itu, kemudian diteruskan pada pihak kepolisian. Beberapa menit kemudian YD berhasil diringkus di rumahnya, sedang menunggu mayat keluarganya. (Kisah yang diceritakan dalam buku ini merupakan kejadian sesungguhnya yang pada waktu lalu pernah dieksposes di media cetak dan elektronik. Walaupun tempat terjadinya peristiwa dan nama pelaku disamarkan, namun jika anda mengikuti perkembangan kasus-kasus kriminal di negeri ini, tentu anda akan mengingatnya dengan jelas).
Perasaan apa yang terpikirkan dalam benak anda dengan peristiwa di atas. Pasti setiap kita akan mengeleng-gelengkan kepala dan merasa kaget, terhenyuh, sedih, gusar, karena mengetahui apa yang dilakukan YD terhadap keluarganya sendiri. Seorang remaja belasan tahun tega membunuh keluarganya sendiri. Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada YD. Apa yang sedang dipikirkannya saat itu, dan bagaimana mungkin dia tega melakukannya, bahkan membunuh ibunya sendiri. Ini sungguh mencengangkan sekaligus menimbulkan tanda tanya besar dibenak kita.
Tampaknya kecerdasan spiritual telah hilang dalam jiwa YD sehingga tega menghabisi nyawa ibu beserta kakak-kakaknya. Terbayang betapa gersang jiwanya YD. Sehingga tidak terlihat bibit-bibit kearifan spiritual dan cinta kasih di dalam dirinya. Jiwanya dikuasai nafsu dendam dan amarah, sehingga menjadi jiwa yang sakit (soul pain). Akibat jiwa yang sakit ini, YD mengalami proses keterbelahan diri atau keterbelahan personality (a divided self or split personality). Tidak terdapat pencerahan spiritual dalam dirinya. Jiwa yang sakit menyebabkan cahaya cinta tidak bisa tumbuh dalam hatinya. Sehingga angkara murka lebih berkuasa dan mengendalikan diri YD. Betapa mengerikan akibat dari terhambatnya perkembangan kecerdasan spiritual dalam diri seorang anak. Kita tidak bisa membayangkan perbuatan keji apa saja yang bisa mereka lakukan akibat terhambatnya perkembangan pencerahan spiritual itu.
Banyak faktor yang mempengaruhi terhambatnya perkembangan kecerdasan spiritual di dalam diri anak. Salah satunya adalah perubahan-perubahan sosial yang cepat dan mengejutkan. Perubahan-perubahan sosial yang lebih menekankan kesuksesan materi, mementingkan egoisme, dan menekankan pencarian kenikmatan semata atas seks dan gaya hidup, telah mengakibatkan terjadinya proses dehumanisasi. Yaitu menurun serta ditinggalkannya nilai-nilai kemanusiaan (etik, moral, dan agama), dan digantikan dengan mengagung-agungkan aspek-aspek material semata (Fromm, 1995)
Secara tidak disadari banyak orang tua yang mulai meninggalkan nilai-nilai agama, etik dan moral karena dianggap sudah usang, kuno, tidak modern, tidak mampu membawa pada kebahagiaan. Dan digantikan oleh dominasi nilai materialisme yang dianggap lebih memuaskan nafsu untuk memperoleh kenikmatan duniawi. Akibatnya orang tua lupa membimbing dan mendidik dimensi spiritual dalam jiwa anak. Perkembangan kebermaknaan spiritual dalam diri anak menjadi terhambat dan tidak berkembang secara optimal. Hal ini menyebabkan anak mengalami kekosongan spiritual (spiritual-emptiness). Sehingga memunculkan penyakit ketidakbermaknaan spiritual (spiritual-meaningless) dalam diri anak. Ketidakbermaknaan spiritual ini menyebabkan anak mudah terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan sekitarnya. Anak menjadi kehilangan pegangan hidup, cenderung kehilangan keimanan, dan mudah putus asa (hopeless). Tidak itu saja (seperti kisah yang diceritakan di atas) anak akan lebih rentan untuk melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai moral serta kemanusiaan. Anak mudah melakukan perbuatan keji hanya untuk memuaskan pencapaian kenikmatan nafsu sesaat. Anda tentu tidak menginginkan anak-anak anda menjadi anak-anak yang hampa secara spiritual. Sehingga mudah melakukan perbuatan di luar batas perikemanusiaan seperti yang dilakukan oleh YD, FD, dan dua anak lainnya di atas.
Banyak orang tua tanpa disadari telah melakukan proses dehumanisasi pada anaknya, dengan hanya mendorong anak untuk mencapai kesuksesan materi, popularitas dan meminggirkan nilai-nilai ruhaniah dan spiritual. Akibatnya anak hanya belajar untuk bagaimana memperoleh uang yang banyak. Belajar untuk bagaimana mementingkan egoisme semata. Mendorong anak melakukan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Akibatnya anak menjadi rentan terhadap kekosongan atau penyakit ketidakbermaknaan spiritual (spiritual emptiness and meaningless). Clinebell (dalam Hawari, 1996) mengatakan bahwa setiap anak memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus terpenuhi dalam hidupnya. Kebutuhan dasar spiritual ini (spiritual needs) jika terpenuhi akan menimbulkan keadaan damai, aman, dan tenteram dalam hidup anak. Ia akan mempercepat proses berkembangnya kearifan dan kebajikan spiritual dalam jiwa anak sehingga akan mencerahkan setiap tindakannya. Sebaliknya jika kebutuhan spiritual ini tidak terpenuhi maka anak akan mengalami keadaan hampa secara spiritual (spiritual emptiness), kehilangan pegangan, kehilangan makna hidup (meaningless life), yang mendorong timbulnya kecemasan neurotis.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di Barat menunjukkan bahwa kebermaknaan religiusitas dan spiritual sangat penting dalam kehidupan manusia, apalagi bagi seorang anak. Lindenthal (dalam Hawari, 1996) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa individu yang religius jauh kurang menderita distres dibandingkan dengan individu kurang (tidak) religius. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan kecerdasan spiritual akan menunjukkan betapa peran kecerdasan spiritual sangat penting dan efektif dalam membimbing anak untuk menghadapi stres. Jiwa anak menjadi semaki kuat, sehingga anak memiliki ketangguhan untuk menghadapi segala tantangan dan hambatan dalam hidup ini. Penelitian Prof Dadang Hawari (1996) menegaskan bahwa remaja yang rendah komitmen religiusitasnnya mempunyai resiko lebih tinggi terlibat dalam penyalahgunaan obat terlarang (napza) dan minuman keras. Hasil penelitian ini jelas menunjukkan bukti-bukti ilmiah tentang peran dari komitmen religiusitas dan kebermaknaan spiritual dalam jiwa seorang anak. Remaja-remaja yang kurang religius, serta hampa atau kosong secara spiritual ternyata lebih beresiko terjerumus dalam penyalahgunaan napza dan minuman keras.
Remaja-remaja yang terombang-ambing akibat tidak mendapatkan ketenangan jiwa, perasaan hampa secara spiritual, dan merasa tak berharga dalam hidupnya, biasanya mencari kompensasi untuk memenuhi kebutuhan dasar spiritualnya melalui narkoba dan minuman keras. Mereka merasa tersiksa, jiwanya sakit dan gersang. Sehingga mudah sekali terkunci dalam penjara kehampaan makna dan kekosongan jiwa. Mereka berusaha keluar dari penjara tersebut melalui narkoba. Namun bukan ketenangan jiwa yang mereka dapatkan, tetapi justru kesengsaraan yang tak berujung yang mereka rasakan. Ini sungguh keadaan yang sangat menyedihkan bagi seorang anak, mengingat mereka ini adalah generasi penerus bangsa, dan harapan bagi keluarganya di masa depan. Bisa anda bayangkan jika saat ini terdapat sekitar 3-4 juta anak remaja di Indonesia terpenjara dalam ketergantungan dan penyalahgunaan narkoba. Mereka kehilangan masa depan, terjerumus dalam jiwa yang sakit, hampa dan kosong (spiritual emptiness and meaningless).
Larson (1992) menemukan bahwa remaja yang komitmen agamanya kurang, mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk menyalahgunakan napza dibandingkan remaja yang komitmen agamanya kuat. Penelitian Hawari (1996) menemukan bahwa ketaatan menjalankan ibadah pada remaja memberikan pengaruh besar untuk mencegah terlibatnya individu dalam penyalahgunaan Napza. Pada kelompok yang taat menjalankan ibadah hanya 30 % yang terlibat Napza dibandingkan yang tidak taat dalam menjalankan ibadahnya sebesar 70,7%.
Banyak juga kita lihat diberbagai kota di Indonesia beberapa anak remaja yang secara materi cukup bahkan sangat berlebihan, dimanjakan limpahan harta oleh orang tuanya, mengalami kehampaan spiritual, hidup tanpa makna (meaningless life), merasa tak berarti dan mengalami kekosongan eksistensial (existensial vacuum). Anak-anak ini secara duniawi memiliki segalanya, uang, gaya hidup, baju model terbaru sampai mobil sedan berharga ratusan juta rupiah. Namun semua itu tidak mampu membuat mereka bahagia. Mereka tidak merasakan ketenangan dan kedamaian secara spiritual. Anak-anak remaja ini tidak mampu mencapai dan merasakan kebermaknaan hidup yang sesungguhnya. Akibatnya mereka mengalami kekosongan eksistensial (existensial vacuum). Menurut Viktor Frankl seorang ahli jiwa terkemuka, menegaskan bahwa makna hidup tidak semata-mata terdapat hanya pada pencapaian materi semata. Tetapi lebih berkaitan dengan proses pencapaian dan pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan. Pemenuhan akan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan menurut Frankl (1977) lebih kekal dan lebih mampu membawa manusia dalam pencapaian ketenangan dan kedamaian jiwa.
Anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan spiritual mudah terjangkit krisis spiritual (spiritual crisis), keterasingan spiritual (spiritual alienation), patologi spiritual (spiritual pathology), dan penyakit spiritual (spiritual illness). Ini merupakan penyakit-penyakit jiwa manusia modern. Dan tampaknya akan semakin meningkat bersamaan dengan berkembangnya peradaban; teknologi dan kemajuan di abad globalisasi ini. Siapa yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. Tentu saja yang harus bertanggungjawab adalah orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga, dimana anak selama ini tumbuh dan berkembang. Sebab jika dihitung-hitung sejak bayi hingga remaja waktu anak lebih banyak dihabiskannya bersama orang tua. Namun kebanyakan orang tua seperti tidak memiliki waktu untuk membimbing serta mendidik anak dengan baik. Mereka kurang menanamkan bibit-bibit pencerahan spiritual, nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Sepertinya orang tua cenderung membiarkan anak mencarinya sendiri di luar rumah, yang tentu saja sangat bentuknya beranekaragam. Sehingga cenderung menyesatkan anak. Sebab apa yang terdapat di luar rumah sangat sulit dikontrol. Sehingga anak sendiri tidak mampu menyaringnya secara baik. Akibatnya bukan kebermaknaan spiritual yang didapatkan. Tetapi anak semakin terjerumus dalam kehampaan serta kekosongan spiritual. Karena di luar rumah budaya konsumerisme, sekulerisme, hedonistis dan materialism sudah mengila. Ketika anak melihat teman-teman sebayanya mengendarai mobil mewah, maka tergambarlah betapa nikmatnya jika memiliki uang dan harta yang banyak. Anak kemudian cenderung mencontoh gaya hidup materialism dan sebaliknya menyingkirkan gaya hidup yang lebih menekankan makna-makna spiritual yang lebih kekal.
Al Qur’an menegaskan bahwa gaya hidup serba kebendaan (hedonistis) merupakan salah satu sebab kehancuran yang akan dialami manusia. Manusia akan kehilangan kemuliaannya sebagai manusia, dan terperosok dalam lingkaran hawa nafsu yang selalu memperbudaknya. Sehingga manusia secara perlahan-lahan akan terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang menghancurkan dirinya sendiri. Hal ini pun tentu berpengaruh dalam diri anak. Dunia saat ini lebih menekankan pada pencapaian kenikmatan kebendaan dan hedonistis semata. Allah SWT berfirman “ dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat “ (Q.S. Shaad : 26). Azab ini sebenarnya disebabkan oleh perbuatan kita sendiri, sebagai akibat kita menafikan makna-makna spiritual. Dampaknya kita terjangkit penyakit spiritual. Secara langsung atau pun tidak, kita ikut mendorong anak-anak terjerumus di dalamnya. Sebab sebagai orang tua, apapun yang kita lakukan akan dicontoh oleh anak. Orang tua adalah teladan bagi anak, sehingga ketika anak melihat orang tuanya jauh dari nilai-nilai religius spiritual, maka anak pun akan mengikuti jejak ayah ibunya. Maka sebelum orang tua membimbing dan mendidik anak-anaknya untuk mampu mencapai kecerdasan spiritual, terlebih dahulu orang tua harus cerdas secara spiritual. Anak yang cerdas secara spiritual sedikit banyak dihasilkan dari orang tua yang juga cerdas secara spiritual. Orang tua yang sakit secara spiritual sedikit banyak akan mempengaruhi anaknya untuk terjerumus dalam keadaan sakit secara spiritual.



PEMBAHASAN

Kecerdasan spiritual membutuhkan spiritualitas yang sehat karena keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Dengan demikian orang yang cerdas secara spiritual, juga orang yang sehat secara spiritual. Orang yang sehat secara spiritual akan memiliki kecerdasan spiritual. Menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan dan kesehatan spiritual pada anak merupakan peran utama orang tua. Tidak bisa lagi orang tua menyerahkan begitu saja pengembangkan dan pembentukan potensi spiritual anaknya hanya pada sekolah atau guru. Proses pembentukan dan pengembangan ini harus dilakukan sejak anak lahir hingga masa dewasa. Semakin dini proses ini dilakukan, maka akan semakin optimal hasil yang akan diperolehnya. Sebagai contoh dalam ajaran Islam setiap anak yang baru lahir harus diadzankan dan diiqomatkan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dini anak harus dikenalkan dengan makna-makna spiritual, sehingga kelak ketika anak menuju masa akhir balig anak memiliki pencerahan spiritualitas. Yang akan Jika pencerahan spiritual ini mampu memupuk makna-makna spiritual yang mendalam dalam diri anak. Harapannya di masa depan anak akan mampu mencapai kecerdasan spiritual dan terbebas dari penyakit-penyakit spiritual yang menghancurkan.
Tahapan dari berkembangnya kecerdasan spiritual dalam diri anak menurut konsep penulis adalah, pertama anak perlu ditumbuhkan kesadaran spiritualnya, kemudian dengan kemampuan anak menyadari bahwa ada dimensi spiritual dalam dirinya, maka hal itu akan menumbuhkan pemahaman akan dimensi spiritual. Melalui orang tualah anak memperoleh pengetahuan dalam mencapai pemahaman spiritual. Sehingga jelas orang tua memegang peranan kunci dalam berkembangnya kecerdasan spiritual anak. Setelah anak mampu mencapai pemahaman spiritual yang cukup dalam, maka anak akan lebih mampu mencapai penghayatan spiritual secara autentik. Melalui penghayatan spiritual inilah anak mencapai kebermaknaan spiritual. Jika penghayatan spiritual anak positif dan optimal maka kebermaknaan spiritual yang diperoleh anak pun akan positif dan optimal. Sebaliknya jika penghayatan spiritual anak serba setengah-setengah, maka kebermaknaan spiritual yang akan dicapai anak pun hanya setengah-setengah. Oleh karena itu pemahaman spiritual dalam diri anak harus didorong untuk berkembang secara optimal, sehingga kesadaran spiritual anak pun akan berkembang secara optimal. Sebab keduanya akan mendorong tumbuhnya penghayatan yang optimal dan menyeluruh pada diri anak. Kebermaknaan spiritual yang optimal dan matang ini pada akhirnya akan mendorong berkembangnya kecerdasan spiritual yang matang dalam diri anak.
Untuk memperjelas konsep perkembangan kecerdasan spiritual di bawah ini akan digambarkan konsep perkembangan kecerdasan spiritual melalui pohon perkembangan. Akarnya adalah kebutuhan dasar spiritual yang sudah dimiliki oleh setiap anak, atau apa yang disebut Spinks sebagai religious instict. Atau dalam kosep Danah Zohar dan Ian Marshall disebut sebagai God-Spot (titik Tuhan dalam otak manusia). Karena potensi spiritual ada dalam diri seorang anak, maka orang tua perlu mendorong munculnya potensi itu secara aktual, agar menjadi sebuah kesadaran spiritual dalam diri anak. Setelah anak memiliki kesadaran spiritual maka tugas orang tua selanjutnya adalah memberikan pemahaman dan pengetahuan yang bijak tentang dimensi spiritual. Dengan adanya pemahaman spiritual ini maka anak akan mampu menghayati spiritualitasnya secara optimal. Penghayatan spiritual yang optimal dan matang ini akan mendorong anak mencapai kebermaknaan spiritualnya, untuk kemudian mendorong munculnya kecerdasan spiritual yang matang dalam diri anak.

Kesadaran spiritual ini biasanya mulai tumbuh ketika anak berusia 3 sampai dengan 4 tahun. Jika kesadaran spiritual ini bisa tumbuh secara optimal anak akan lebih mudah mencerna pemahaman spiritual dalam dirinya. Pemahaman spiritual mulai tumbuh ketika anak mulai memasuki masa sekolah (berusia 5 sampai 7 tahun). Diharapkan setelah anak mencapai pemahaman spiritual, dia akan mampu melakukan proses penghayatan spiritual dengan menyerap pengalaman-pengalaman spiritual dalam kehidupannya. Setelah anak menginjak usia remaja, pada saat itu anak sudah mulai mampu menghayati pengalaman-pengalaman spiritual secara bermakna, dengan syarat anak telah mencapai pemahaman spiritual yang memadai.

Beberapa praktek yang bisa dilakukan untuk mengembangakan kecerdasan spiritual anak akan di jelaskan satu-persatu di bawah ini.

1. Melalui Doa dan Ibadah


Melaui doa dan pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT anak akan dibimbing jiwanya menuju pencerahan spiritual. Orang tua untuk itu sangat perlu untuk senantiasa mengingatkan anak tentang pentingnya berdoa dan beribadah dengan khusuk. Sebab sebagai makhluk spiritual, anak memiliki potensi kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhinya, yang muaranya akan menumbuhkan kesadaran spiritual yang tinggi dan meningkatkan pemahaman spiritual anak akan adanya hubungan dirinya dengan Tuhan. Lewat doa-doa yang dipanjatkan yang meresap dalam jiwa anak. Doa yang meresap dalam jiwa ini akhirnya akan menjadi penuntun dan kekuatan untuk melawan setiap godaan negatif lingkungannya. Melalui doa dan pelaksanaan ibadah yang konsisten serta ikhlas, anak akan mendapatkan penghayatan spiritual yang akan membawanya pada kebermaknaan spiritual. Sebab doa-doa anak akan menghasilkan ketenangan, dikala anak mendapatkan kesulitan. Dimana doa akan menjadi kekuatan yang mendorong anak untuk terus maju menghadapi segala hambatan dan tantangan dalam hidupnya.


Sebagaimana firman Allah SWT yaitu : “ Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas “ (Al A’raaf : 55). Firman Allah SWT di atas menegaskan bahwa berdoa memiliki etika dan caranya tersendiri. Untuk itu orang tua harus mengajarkan dan membimbing anak tentang tata cara berdoa yang baik. Etika berdoa diantaranya harus dilakukan dengan penuh keikhlasan, dengan suara yang lemah embut, dengan keyakinan bahwa doanya akan dikabulkan, dengan berendah diri dan hanya mengharapkan Rahmat dari Allah SWT semata-mata.
Allah SWT sebagaimana terdapat dalam firman-Nya “ Wa qaala rabbukumud’uunii astajib lakum “ Artinya “ Tuhanmu telah berfirman : Berdoalah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan memperkenankan permohonan itu “ (Al Mukmin : 60). Firman Allah SWT di atas menegaskan bahwa Allah SWT senantiasa mengabulkan permintaan hamba-hambanya. Sehingga berdoa menjadi sarana meminta kemudahan dan kesuksesan dalam setiap kegiatan. Berbentuk bimbingan yang lain misalnya ketika anak akan melakukan kegiatan yang baik, anak diajarkan untuk berdoa meminta perlindungan dari Allah SWT agar kegiatannya senantiasa berjalan dengan kemudahan dan sukses. Anak perlu diyakinkan bahwa Allah SWT akan menolong, jika anak berdoa dengan khusyuk dan penuh keikhlasan. Sebab hanya usaha saja tanpa disertai doa akan cenderung menyesatkan anak. Ia membuat anak menjadi lupa dan menyombongkan dirinya. Ia tidak mengakui bahwa peranan kemurahan dan rahmat dari Allh SWT juga ikut membimbingnya menuju kesuksesan.
Salah satu cara doa yang diajarkan dalam Islam adalah berdzikir. Kegiatan berdzikir ini juga merupakan sarana bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan spiritualnya. Melalui berdzikir anak akan senantiasa mengingat kebesaran Allah SWT. Sehingga muatanya anak akan terdorong untuk melakukan kebajikan dan akan mencegah kemungkaran. Sebab dzikir akan membersihkan jiwa anak dan sekaligus akan mempertajam hati nuraninya. Sehingga anak akan senantiasa dalam pencerahan rahmat, hidayah, petunjuk, dan tuntunan dari Allah SWT. Beberapa manfaat dari dzikir yang diterangkan oleh Al Qur’an adalah sebagai berikut (Nasution, 1990) :
a. Menenteramkan, membuat hati menjadi damai. Sebagaimana firman Allah SWT “ Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (dzikir). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram “ (Q.S. Ar-ra’d : 28). Ayat ini menegaskan bahwa jika perasaan manusia mengalami kesusahan, kegelisahan, maka berdzikirlah, InsyaAllah hati manusia akan menjadi tenang.
Apalagi perkembangan kebudayaan modern saat ini sudah se,akin materialistis. Dimana segala sesuatu diukur dengan dasar materialisme. Akibanya budaya hedonistis (memperturutkan hawa nafsu untuk mencari kenikmatan semata) telah begitu merebak di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu dalam menghadapi kenyataan ini, anak perlu diberi kekuatan untuk melawannya. Ia diberikan tameng untuk menghadapinya. Salah satunya melalui dzikir yang senantiasa dipanjatkannya. Sebab dengan dzikir akan membersihkan hati anak dari dorongan-dorongan hawa nafsu yang merusak. Selain itu juga melawan godaan setan yang senantiasa membujuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Melalui dzikir anak akan senantiasa mengingat bahwa Allah SWT mengawasinya dan melindunginya dari segala bencana, godaan dan malapetaka. Sehingga jiwa anak menjadi tenang dan damai. Jika anak mampu mencapai ketenangan dan kedamaian, maka ia akan mencapai kebermaknaan secara spiritual dalam hidupnya. Dan dengan kebermaknaan spiritual ini akhirnya akan menjadi lahan subur bagi berkembang dan tumbuhnya kecerdasan spiritual yang matang dan optimal dalam diri anak.
b. Menambah keyakinan, keimanan serta keberanian anak untuk berjuang di jalan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al Qur’an “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal (Q.S. Al An faal : 2). Melalui dzikir anak akan memperoleh kekuatan lahir batin sehingga memperkokoh jiwa anak dalam menghadapi dunia. Melalu dzikir anak akan membentuk kepribadian yang tangguh. Ia tidak mudah putus asa, senantiasa optimis menyongsong masa depan dan memiliki ketegaran jiwa dalam menghadapi setiap tantangan dan permasalahan dalam hidupnya. Dzikir akan memperkuat keimanan anak dan menambah ketakwaannya kepada Allah SWT. Sehingga anak senantiasa berbuat kebajikan, kearifan dan kebaikan dalam setiap perilakunya sehari-hari. Anak selain terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, jiwanya akan senantiasa mengingat Allah SWT dan dibimbing oleh cahaya (petunjuk) dari Allah SWT.
c. Melalui dzikir anak akan mendapat keberuntungan. Sebagaimana firman Allah SWT yaitu : “ Hai, orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui “ (Al Jumu’ah : 9)
“ Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kmu beruntung “ (Al Jumua’ah : 10). Banyak keberuntungan yang akan didapatkan anak dari kebiasaan berdzikir. Diantaranya hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi lapang dan akan senantiasa mendapatkan kemudahan dalam segala usahanya. Untuk itu anak perlu diyakinkan dan diajak untuk merasakan manfaat positif dari kebiasaan berdzikir. Biarkan anak mengalami sendiri pengalaman-pengalaman spiritual yang positif dari berdzikir. Ketika anak sudah mengalami manfaat pengalaman spiritual positif tersebut, maka anak akan semakin yakin dan semakin banyak memperoleh makna-makna pengalaman spiritual yang positif. Kebermaknaan spiritual yang didapatkan anak dari terpenuhinya pengalaman-pengalaman spiritual, akan mencerahkan dan membimbing jiwa anak pada ketenangan dan kedamaian. Sehingga jiwa anak tidak mudah dikuasai dan semakin mampu mengendalikan dorongan hawa nafsunya. Dampaknya perilaku anak senantiasa sesuai dengan jalan kebajikan dan kebenaran. Allah SWT berfirman dan mengingatkan kita semua yaitu : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi “ (Al Munaafiquun : 9).
d. Menghilangkan rasa takut. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al Qur’an yaitu : “ Ketika dua golongan dari padamu ingin mundur karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakal (Ali Imran :122). Dengan berdzikir anak akan mendapatkan kekuatan dan keberanian dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan. Anak menjadi yakin bahwa Allah SWT akan membantunya dan memudahkan jalan hidupnya. Melalui berdzikir rasa was-was dalam diri anak akan hilang, dan berganti dengan keyakinan bahwa Allah SWT senantiasa melindunginya. Sebagaimana firman Allah SWT yaitu :“ Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman “ (Ali Imran : 171).
e. Mendapatkan nikmat, keselamatan dan kesejahteraan lahir batin. Sebagai mana Allah SWT berfirman yaitu : “ Maka mereka kembali dengan nik’mat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar “ (Ali Imran 174). Berdzikir akan membawa kenikmatan jiwa yang besar bagi anak seperti mencapai kedamaian, ketenangan jiwa dan kelapangan hati, ketika sedang mendapatkan kesulitan. Berdzikir juga akan membawa kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan anak, sehingga kesadaran spiritual anak akan meningkat.
f. Melepaskan manusia dari kesulitan hidup. Hal ini ditegaskan Allah di dalam Al Qur’an yaitu : “ Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal “ (Ali Imran : 160). Disini anak perlu diingatkan janganlah berputus asa ketika mendapatkan kesulitan, karena Allah SWT akan menolongnya. Sehingga melalui berdzikir anak akan mampu membangun sikap yang optimis dalam setiap menghadapi kesulitan-kesulitan hidupnya. Karena anak menyakini bahwa Allah SWT akan menolongnya dalam menghadapi kesulitan. Anak akan semakin yakin bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Artinya jika dia berusaha maka Allah SWT akan memberikan jalan yang mudah untuk memecahkan kesulitan tersebut.
Orang tua perlu mengajarkan pada anak doa-doa yang harus dipanjatkannya sesuai dengan situasi yang sedang dihadapinya. Misalnya ketika anak mengalami kesulitan maka doa yang bisa dipanjatkannya seperti, “ Ya, Allah Ya Tuhanku, berilah hambamu ini kekuatan, kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi masalah ini, mudahkan dan berilah hambamu ini jalan untuk menghadapinya secara baik …”. Bisa saja doa-doa tersebut dalam bentuk kalimat yang dipahami anak. Karena dengan memahami kalimat doa yang dipanjatkannya maka penghayatan akan doa tersebut akan lebih tinggi. Dibandingkan jika misalnya mengucapkan doa dalam Bahasa arab yang tidak difahami artinya. Pada dasarnya beberapa doa bisa diucapkan dalam bahasa yang dimenegrti anak. Artinya sebagai orang Islam tidak harus berdoa dalam bahasa Arab. Walaupun ada doa-doa tertentu yang wajib diucapkan dalam bahasa Arab (bahasa Al Qur’an). Untuk itu anak perlu diajarkan arti dan makna dari doa-doa yang berbahasa arab atau Al Qu’ran tersebut, sehingga anak betul-betul memahaminya dan menghayatinya secara mendalam.

2. Melalui Cinta dan Kasih Sayang

Banyak kondisi yang mempengaruhi anak dalam proses perkembangannya. Beberapa kondisi yang mempengaruhi anak adalah sikap orang-orang yang berada di sekeliling anak. Sikap cinta dan kasih sayang yang cukup, merupakan sumber utama bagi berkembangnya kecerdasan spiritual dalam diri anak.
Cinta merupakan sumber kehidupan bagi anak. Cinta memberikan anak rasa damai dan aman yang akan memungkin mereka untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa cinta, maka anak secara perlahan-lahan akan mati. Cinta membuat anak terus tumbuh dan berkembang mencari indentitasnya sendiri. Cinta menyebabkan mereka bisa tertawa, senang dan bahagia. Tentu saja sikap penuh cinta dan kasih dari orang-orang di sekeliling anak akan sangat berarti bagi anak.
Sikap ibu yang menunjukkan rasa cintanya, perhatian dan kasih sayang akan membuat anak merasa berharga di mata kedua orang tuanya. Anak yang dicintai akan lebih berbahagia, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dicintai. Cinta membuat anak membentuk konsep diri yang positif, yang pada akhirnya akan membuat mereka lebih menghargai diri mereka sendiri. Dan kecerdasan spiritual hanya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang saling mencintai, saling kasih mengasihi, serta saling harga-menghargai. Iklim cinta kasih dalam keluarga, akan membuat anak merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya, anak akan banyak belajar tentang arti cinta dan kasih sayang melalui keluarganya, dan pada akhirya akan mampu mencintai dan menghargai orang lain.
Hubungan cinta yang sehat adalah hubungan cinta yang menghasilkan energi positif bagi diri. Hubungan cinta yang sehat juga merupakan hubungan cinta yang produktif. Eric Fromm (1947) mengatakan bahwa cinta yang produktif adalah cinta yang memungkinkan tiap pribadi di dalamnya berkembang menjadi manusia yang paripurna, sehat dan bahagia, serta berkembang dan berdaya guna secara maksimal. Cinta yang produktif memungkinkan tiap pribadi mengerti dirinya sendiri, memiliki kebebasan memilih, berpikir menurut keyakinanya sendiri, mengembangkan identitasnya sendiri tanpa distorsi dan tekanan. Cinta yang produktif memungkinkan tiap pribadi di dalamnya mampu mengunakan semua potensi yang dimilikinya, kecakapan dan kemampuan serta energi untuk berkembang secara lebih optimal.
Cinta yang tidak sehat merupakan salah satu model cinta yang irrasional dan cenderung menghancurkan eksistensi kemanusiaan. Cinta yang irasional menyebabkan diri menjadi tidak bisa berkembang secara optimal. Sebab identitas dirinya terserap, hilang dan dipaksakan untuk berubah bukan menurut kehendak pribadinya. Kemerdekaannya terampas, tidak ada lagi kebebasan untuk berpikir, memutuskan dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri.
Fromm (1947) mengatakan bahwa cinta yang produktif dilandasi oleh empat dimensi yang menyuburkan cinta tersebut. Yaitu adanya perhatian, tanggungjawab, respek dan pengetahuan. Perhatian berarti anda memperhatikan kesejahteraan anak, memelihara anak seperti anda memelihara diri sendiri, membantu pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai mana anda juga berusaha untuk menjadikan diri anda berkembang dan utuh. Perhatian menimbulkan rasa tanggungjawab atas diri anak. Artinya orang tua bertanggungjawab untuk memastikan anak hidup sejahtera, seperti tercukupinya kebutuhan-kebutuhannya, bertanggungjawab atas pertumbuhan dan perkembangannya serta memastikan bahwa anak akan semakin memiliki pemahaman identitas dirinya yang sejati. Untuk memastikan kesejahteraan anak, kita wajib memandang anak dengan penuh penghormatan dan penghargaan, menerima diri anak apa adanya, tidak memaksakan kehendak serta tuntutan-tuntutan pribadi, serta mendistorsikan identitas pribadi anak. Agar semua itu tercapai anda perlu memiliki pengetahuan mendalam dan objektif tentang siapa diri anak sesungguhnya. Apa yang diinginkannya, serta apa harapan-harapannya di masa depan.
Anda mungkin pernah mengetahui kejadian tragis yang terjadi di sekeliling kita. Misalnya seorang anak dianiaya, dipaksa untuk menuruti segala kehendak orang tuanya. Atau mungkin anda pernah mendengar bagaimana seorang ayah yang melarang-larang kegiatan anaknya, hanya karena sang ayah tidak menyukai kegiatan positif tersebut tersebut. Anda mungkin melihat bahwa banyak istri yang dipaksakan untuk tinggal di rumah, tidak boleh mempunyai karir yang mandiri dengan alasan dan legitimasi ajaran agama yang sebenarnya secara salah diinterpretasikan. Dimana agama dipolitisir sedemikian rupa untuk melegitimasi egoisme sang suami.
Kalau anda mencintai anak sepenuh hati, biarkan mereka tumbuh dan berkembang menurut kehendaknya sendiri. Jangan rampas kebebasan dan kemerdekaannya. Apalagi menginjak hak-hak mereka sebagai manusia dengan alasan cinta. Untuk itu orang tua wajib memberikan lingkungan yang positif. Memberi dorongan untuk sukses. Dukunglah anak untuk mencapai impiannya. Karena cinta tidak membuat manusia kehilangan jati dirinya dan pilihannya, menjadi kerdil tak berdaya. Tetapi cinta menyuburkan dan menyempurnakannya menjadi paripurna dan indah.

3. Melalui Keteladanan Orang tua


Keteladanan orang tua menjadi salah sarana membimbing anak meningkatkan kebermaknaan spiritualnya. Orang tua menjadi contoh bagi anak karena orang tua adalah figur yang terdekat dengan anak. Apa yang dilakukan orang tuanya, biasanya anak selalu berusaha untuk mencontohnya. Jika orang tua rajin beribadah maka anak juga sedikit banyak akan terpengaruh dengan kebiasaan tersebut, sebaliknya jika orang tua malah banyak melakukan perbuatan buruk, maka anak pun lama kelamaan akan meniru perbuatan tersebut.
Dalam membimbing anak, orang tua tidak boleh hanya mengatakannya saja, namun sebaliknya menunjukkannya melalui perbuatan. Sehingga apa yang dikatakan orang tua memiliki kekuatan pengaruh besar, karena terwujud dalam tindakan orang tua sehari-hari. Jika orang tua mengatakan pada anak jangan berbohong, sementara orang tua sering membohongi anak, maka nasehat-nasehat orang tua akan sia-sia. Jika orang tua menegaskan pada anak untuk menepati janji, maka orang tualah yang pertama-tama harus menepati janjinya. Sehingga anak betul-betul akan meresapi makna perbuatannya tersebut.
Namun sangat disayangkan banyak orang tua tidak bisa menjadi teladan bagi anak sehingga anak kehilangan figur yang positif untuk dicontohnya. Anak menjadi bingung dengan dirinya sendiri, dan berusaha mencari-cari identitas diri di luar rumah yang tentu saja tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena di rumah anak tidak bisa menemukan figur orang tua yang positif untuk diidolakannya.
Ketika orang tua menghendaki anaknya untuk rajin membaca, maka yang terlebih dahulu anda lakukan adalah memberikan contoh kepadanya. Ketika orang tua menghendaki anaknya rajin beribadah, maka yang pertama kali harus rajin menjalankan ibadah adalah orang tua. Akibatnya anak tidak hanya mendengar nasehat dari mulut orang tuanya, tetapi sekaligus dapat melihat contoh dari tindakan nyata orang tuanya. Sebab nasehat dari orang tua tanpa disertai contoh akan menjadi kurang berpengaruh. Sebaliknya nasehat yang dibarengi contoh lewat tindakan nyata akan lebih kuat pengaruhnya.

4. Melalui Cerita/Dongeng yang Mengandung Hikmah Spiritual

Kecerdasan spiritual pada anak dapat juga ditingkatkan melalui cerita (dongeng) yang disampaikan orang tua pada anaknya. Dengan dongeng, orang tua dapat menanamkan nilai-nilai dan makna spiritual dalam diri anak. Tentu saja melalui cerita (dongeng) yang mendidik serta berisikan makna-makna spiritual. Mendongeng tidak saja penting sebagai proses mendidik tetapi juga merupakan sarana komunikasi yang intim dengan anak. Keterbukaan dan kedekatan emosional bisa tumbuh melalui komunikasi dua arah yang dilaksanakan dalam bentuk proses mendongeng. Anak mudah sekali meniru apa yang dia dengar dan menyerap nilai-nilai di dalamnya untuk diambil sebagai pandangan pribadi anak sendiri.
Orang tua tentu saja wajib memilih dongeng-dongeng yang menstimulasi kecerdasan spiritual anak. Sumber cerita yang bisa diambil orang tua diantaranya yang utama adalah melalui cerita keagaamaan yang terdapat di dalam kitab suci seperti kisah para Nabi dan Rasul yang terdapat di dalam Al Qur’an. Melalui kisah para Nabi dan Rasul ini anak akan secara langsung mengenal dan memahami konsep tentang Allah SWT, konsep kebenaran, perbuatan yang bajik serta larangan-larangan yang harus dihindari oleh anak.
Ketika kami kecil, ada satu cerita yang begitu berpengaruh hingga masa dewasa yatiu cerita si Malinkundang anak durhaka. Cerita ini penulis dengar ketika masih berusia taman kanak-kanak, cerita ini ketika pertama kalinya penulis ketahui memberikan pelajaran yang berharga. Sejak saat penulis mendengarkan cerita si Malinkundang penulis menjadi takut untuk melawan orang tua.
Ada beberapa manfaat dari mendongeng bagi anak yaitu :
Melalui cerita/dongeng anak bisa mendapatkan pelajaran hidup yang berharga.
Melalui cerita/dongeng anak mampu menyerap nilai-nilai spiritual yang positif.
Melalui cerita/dongeng anak memiliki contoh dan pedoman untuk berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari.
Melalui cerita/dongeng anak mampu melihat kehidupan secara lebih bermakna dan lebih bijak.
Melalui cerita dongeng, hati nurani anak menjadi dipertajam dan ditingkatkan. (hati nurani anak akan terasah dan dipertajam).

Untuk itu dengan maraknya berbagai macam cerita komik terutama komik-komik dari Jepang, maka orang tua perlu mewaspadainya. Seringkali cerita-cerita komik tersebut menjerumuskan anak dengan menyajikan cerita-cerita yang tidak bermakna secara spiritual, seperti cinta picisan, kekerasan, dan egoisme individualis. Selain itu komik-komik tersebut hanya mengumbar nilai-nilai duniawi yang cenderung memuaskan hawa nafsu belaka. Komik-komik tersebut hanya sekedar menghibur tanpa mampu memberikan contoh keteladanan. Sehingga anak-anak yang membacanya tidak memperoleh nilai-nilai luhur kecuali hanya sekedar memuaskan rasa kenikmatan sesaat. Untuk itu orang tua perlu membiasakan anak untuk membaca cerita-cerita yang mendidik, yang menambah pencerhan bagi jiwa anak, yang memperkaya makna-makna spiritual dalam diri anak sehingga anak mendapatkan manfaat yang besar dari kegiatan membaca cerita/dongeng.

5. Membentuk Kebiasaan Bertindak dalam Kebajikan


Orang tua bisa pula mendorong anaknya untuk membiasakan diri bertindak dalam kebajikan. Jika anak mampu memunculkan tindakan yang baik maka kemudian orang tua memujinya dan memberikan hadiah yang disukai anak. Orang tua juga menunjukkan pada anak bahwa mereka juga membiasakan diri untuk bertindak dalam kebajikan, sehingga anak semakin termotivasi untuk menirunya dan membiasakan dirinya bertindak dalam kebajikan.

Sebagai contoh untuk mengajarkan sifat dermawan, orang tua mengajak anaknya mengunjungi panti asuhan atau panti jompo. Di sana anak memberikan sedekah atau hadiah kepada anak-anak panti asuhan atau penghuni panti jompo. Bisa juga orang tua mengundang anak-anak yatim piatu untuk merayakan ulang tahun. Sehingga anak secara langsung diajarkan untuk mengasihi dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang kurang beruntung. Orang tua mengkondisikan anak untuk membiasakan diri melakukan kebajikan, sehingga jika kebiasaan tersebut sudah kokoh, maka sifat kebajikan dalam diri anak akan semakin matang.
Melalui pembiasaan diri untuk bertindak dalam kebajikan maka anak telah menghayati serta menginternalisasi nilai-nilai spiritual yang luhur. Anak akan menjadi pribadi-pribadi yang cerdas secara spiritual. Karena di dalam dirinya telah terbentuk bibit-bibit serta cahaya kebajikan yang mapan. Anak yang memiliki kecerdasan spiritual akan menunjukkan perilaku-perilaku yang luhur, mampu membiasakan diri bertindak benar, serta mampu menahan diri dari dorongan hawa nafsu yang menjerumuskan anak dalam penjara kemungkaran.

6. Mengasah dan Mempertajam Hati Nurani


Hati nurani anak perlu diasah melalui doa-doa dan kebiasaan bertindak benar. Hati nurani anak akan terhambat untuk berkembang secara optimal jika anak nasih dikuasai oleh hawa nafsu sendirinya. Selain itu jika jiwa anak kekurangan akan kasih sayang dan cinta maka anak akan menderita. Akibatnya jiwa anak akan dikuasai oleh rasa benci dan marah yang akan menghambat berkembangnya hatin nurani. Anak akan melampiaskan kemarahan dan rasa dendamnya tanpa rasa bersalah. Sehingga anak tidak mampu merasakan penderitan orang lain. Untuk itu orang tua harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan anak akan cinta dan kasih sayang yang menjadi fondasi awal perkembangan hati nuraninya.
Anak-anak yang merasa ditolak atau diabaikan oleh keluarganya akan menjadi anak-anak yang keras hati, membenci dirinya sendiri dan orang lain, serta cenderung akan menjadi anak yang memiliki kepribadian antisosial. Diri anak akan dikuasai oleh dorongan untuk menyakiti orang lain, akibat kehidupannya sendiri yang tersakiti dan tidak pernah dicintai keluarganya. Untuk itulah kebutuhan cinta dan kasih sayang dalam diri anak harus terpenuhi, sehingga mampu mendorong tumbuhnya hati nurani yang sehat. Ada beberapa cara dalam mengasah hati nurani agar berkembang secara optimal dan sehat yaitu :
a. Melalui mengajarkan anak tentang nilai-nilai luhur. Anak perlu dibimbing memahami dan menghayati nilai-nilai luhur dalam kehidupannya. Peran orang tua menjadi sangat penting dalam membimbing anak untuk menghayati dan menginteralisasi nilai-nilai luhur tersebut dalam dirinya. Sebab tanpa bimbingan orang tua, anak akan mencari pegangan akan nilai-nilai tertentu dari luar lingkungan keluarga, yang bisa saja menjerumuskan anak. Karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal anak, maka pendidikan nilai-nilai luhur harus diterapkan pada anak sedini mungkin. Caranya dengan memberikan contoh-contoh dan penjelasan yang bisa dipahami anak. Orang tua untuk itu perlu memahami perkembangan bahasa anak, dan mengunakan bahasa yang dipahami anak untuk mengajarkan nilai-nilai luhur tersebut.
b. Melalui pemberian contoh dan teladan. Salah satu cara untuk mengasah tingkat kepekaan hati nurani anak adalah dengan memberikan keteladan pada anak. Orang tua memberikan teladan pada anak dalam bertindak secara benar dan memberikan contoh pada anak mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang melanggar hati nurani. Sebagai contoh ketika orang tua melihat pengemis tua meminta belas kasih, segera orang tua memberikan uang sekedarnya. Setelah memberikan uang tersebut orang tua kemudian menjelaskan pada anaknya dengan mengatakan sebagai contoh, “ Kita harus mengasihi fakir miskin, karena mereka membutuhkan bantuan dari kita sebagai orang yang lebih mampu dan memiliki kekayaan “. Atau orang tua mengatakan, “ Kamu bisa melihat bapak memberikan sedekah pada pengemis tersebut, ini bapak lakukan karena sesuai dengan hati nurani kita untuk saling memberikan pertolongan pada orang lain….”.
c. Melalui dialog dan penalaran untuk memahami kehidupan secara arif dan bijak. Sering kali orang tua di kota-kota besar tidak punya waktu untuk melakukan dialog dari hati ke hati dengan anaknya. Karena mereka terlalu sibuk dengan urusan mencari uang, bisnis dan urusan-urusan duniawi lainnya. Sehingga menelantarkan jalinan komunikasi dialogis dengan anaknya sendiri. Pada hal melalui dialog yang terbuka dengan anak, orang tua bisa mentransfer nilai-nilai luhur pada anaknya. Melalui dialog dua arah tersebut, anak dan orang tua terlibat diskusi yang hangat seputar kehidupan sehari-hari, saling memberikan masukan dan saran-saran. Yang perlu dingat orang tua selama proses dialog tersebut adalah menghindari sikap superior di mata anak, sebiasa mungkin orang tua berperan low profile dan memposisikan sederajat dengan anak. Terutama jika anak sudah menginjak remaja. Dalam proses dialog tersebut orang tua juga harus menghindari sikap menggurui anak, mengunakan intonasi yang membodohi atau malah merendahkan harga diri anak. Proses dialog terjadi jika baik orang tua dan anak saling memahami, saling percaya, saling menghargai dan tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari lainnya. Bagaimana pun orang tua juga manusia yang bisa melakukan kesalahan, seperti juga anak. Melalui dialog inilah diharapkan proses pengasahan hati nurani akan semakin dipercepat dan anak secara alamiah memiliki kepekaan hati nurani yang tajam.
d. Melalui pendidikan dan pemahaman ajaran agama. Saat ini sangat disayangkan banyak orang tua yang cenderung melalaikan pendidikan agama di dalam keluarganya. Orang tua menjadi terlalu permisif pada anak sehingga cenderung membiarkan anak tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban ajaran agama seperti kewajiban menegakkan sholat. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah orang tua sendiri menafikan agama dalam kehidupannya. Melalaikan kewajiban agamanya dan lebih suka menghabiskan waktu untuk mencapai urusan duniawi. Akibatnya iklim religius hilang sama sekali dalam lingkungan anak. Sehingga anak sama sekali tidak pernah tersentuh jiwanya dengan pencerahaan spiritual. Anak menjadi tidak tahu apa itu ajaran agama dan untuk apa melaksanakan ajaran agamanya. Anak menjadi acuh terhadap ajaran agama sendirinya, sehingga memperlemah kekuatan moral dalam diri anak. Efek negatif lainnya adalah jiwa anak gersang secara spiritual. Anak menjadi mudah terjerumus dalam perilaku dan gaya hidup buruk seperti seks bebas, narkoba dan dunia malam. Jika anak tidak mengenal agama, maka anak pun tidak mengenal Tuhannya. Akibatnya hati nuraninya menjadi mati dan tertutup oleh hawa nafsunya yang menyesatkan dan menghancurkan masa depan anak.

7. Menerapkan Pola Asuh yang Positif dan Konstruktif


Seringkali banyak orang tua berlaku sewenang-wenang dan otoriter terhadap anaknya. Orang tua memaksa anak untuk mengikuti kehendaknya, orang tua tidak memperdulikan keinginan anaknya sama sekali. Anak tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dan hak-hak yang sama sebagai manusiadan harus dihargai. Tetapi menganggap anak sebagai objek dari keinginan orang tuanya. Akibatnya anak menderita lahir dan batin, jiwanya merasa hampa dan merasa dirinya tidak berharga sama sekali dalam keluarganya.
Bagaimana pun anak memiliki hak-hak yang harus dihargai orang tuanya. Ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya, sepanjang masih dalam batasan yang positif. Setiap anak adalah unik dan jika keunikan tersebut dihambat maka akan menghambat berkembangnya potensi anak secara maksimal. Justru ketika orang tua menghargai pendapat dan keinginan anaknya, maka saat itu juga orang tua mendorong anak untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri





C. KESIMPULAN


Beberapa konsep psikologi islami dapat diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Konsep-konsep psikolog islami ini dapat pula bersinergis dengan beberapa konsep psikologi barat dalam penerapannya. Diantara konsep yang dijelaskan dalam makalah ini adalah bagaimana menerapkan doa dan ibadah sebagai sarana untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak. Bagaimana menerapkan pola asuh yang penuh kasih sayang kepada anak, dan bagaimana orang tua memberikan teladan kepada anaknya juga dapat diterapkan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual anak.



Daftar Pustaka


Ancok, D & Suroso, F.N. 1994. Psikologi Islami : Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Carl Rogers. 1951. Client-centered Therapy : Its current practice, Implications, and Theory. Boston : Houghton Mifflin.

Clinibell, Howard. 1981. The Role of Religion in The Prevention and Treatment of Adiction : The Growth and Counselling Perspectives. Proceedings of The !st Pan Pacific Conference in Drugs and Alcohol. Canbera.

Davidson, G.C. & Neale, J.M. 1974. Abnormal Psychology an Experimental Clinical Approach. New York : John Wiley & Son Inc.

Dister, N.S. 1982. Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (Leppenas).

Edwards, Paul. 1999. The Spiritual Intelligence Handbook. USA : Morris Publishing.

Erich Fromm, 1947. Man for Himself. New York : Holt, Rinehart & Winston.

Frankl, Victor. 1977. Man’s search for Meaning : an Introduction to Logotherapy. London : Hodder & Stoughton.

Goleman, Daniel. 1999. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional. Mengapa EQ Lebih Penting daripada IQ. (T. Hermaya, Penerj). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Gossop, Michael. 1994. Drug and Alcohol Problems: Investigation. Dalam Lindsay & Powell (Eds). The Handbook of Clinical Adult psychology. New York : Routledge.

Hawari, Dadang. 1996. Al Qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Penerbit PT Dana bhakti Prima Yasa.

Levin, Michael. 2000. Spiritual Intelligence, Awekening the Power of Your Spirituality and Intuition. London : Hodder & Stoughton.

Rutter, M. 1980. Parent-Child Separation, Psychological Effect on The Children. New Direction in Children Psychopatology. Vol 1. New York : International University Press Inc.

Robinson, J.P. & Shaver, P.R. 1973. Measures of Social Psychological Attitudes. Michigan : Institute for Social Research. The Institute of Michigan.

Safaria, Triantoro. 1999. Peranan Tingkat Religiusitas Terhadap Stres pada mahasiswa UAD. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UAD.

Sinetar, Marsha. 2001. Spiritual Intelligence : Belajar dari Anak yang Mempunyai Kesadaran Dini. (Boedidarmo, Penerj). Jakarta : Elex Media Komputindo.


Tidak ada komentar: