Selasa, 07 Agustus 2007

Kematangan Emosi dan Kecenderungan POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER Pasca Tsunami pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 MESJID RAYA Aceh Besar

KEMATANGAN EMOSI DAN KECENDERUNGAN POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER PASCA TSUNAMI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) 1 MESJID RAYA ACEH BESAR

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. MSi
Erda Farni, S Psi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Psikologi

SMK 1 Mesjid Raya yang terletak 200 meter dari bibir pantai merupakan salah satu sekolah di NAD yang terkena gempa dan tsunami. Hasil wawancara penulis dengan kepala sekolah didapatkan data bahwa jumlah siswa yang semula berjumlah 300 orang sebelum bencana terjadi, hanya tersisa kurang lebih 100 orang dan 50% guru di sekolah ini juga dinyatakan meninggal dan hilang. SMK 1 Mesjid Raya sempat dijadikan tempat mengungsi warga sekitar karena sekolah ini merupakan salah satu bangunan yang masih berdiri dibandingkan bangunan lain yang sudah rata dengan tanah Gejala-gejala post-traumatic stress disorder terjadi pada siswa SMK 1 Mesjid Raya yang mengalami langsung peristiwa gempa dan tsunami. Gejala-gejala yang mereka alami antara lain ketakutan jika hujan turun, tidak mau mandi karena takut air, sering termenung dan diam, mudah terkejut, enggan bergaul dengan teman bahkan cenderung menarik diri dari lingkungan. Gejala semakin terlihat karena anak-anak Aceh terbiasa memendam masalah dan tidak terbiasa mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapi dengan orang tua sehingga ketika musibah yang menimbulkan trauma berat seperti tsunami hanya dihadapi sendiri.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994), terdapat tiga kelompok simptom post-traumatic stress disorder. Instrusive Re-experiencing, yaitu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Avoidance, yaitu selalu menghindar dari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Subyek penelitian berjumlah 82 orang siswa-siswi SMK 1 Masjid Raya. Penelitian ini ingin menguji apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan PTSD pada siswa-siswi SMK N 1 Masjid Raya Banda Aceh. Data diuji melalui rumus statistik korelasi product moment pearson.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kematangan emosi dan kecenderungan post-traumatic stress disorder pada siswa SMK 1 Mesjid Raya. Hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari analisis data sebesar -0,608. Melihat perhitungan tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan post-traumatic stress disorder, begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi pula kecenderungan post-traumatic stress disorder. Kematangan emosi memiliki peranan sebesar 36 % terhadap kecenderungan PTSD.
Saran untuk sekolah adalah segera memberikan bimbingan atau pun pelatihan pengelolaan emosi, terutama bagi siswa-siswi yang rendah tingkat kematangan emosinya dan juga tinggi skor kecenderungan PTSD-nya.


Kata Kunci : Kematngan emosi, Tsunami Aceh, dan Kecenderungan Post-traumatic
stress disorder.

Latar belakang masalah

Tsunami di Aceh sudah dua tahun berlalu, tetapi kenyataan yang ada menunjukkan masih terdapatnya korban tsunami yang mengalami trauma. Simptom PTSD terkadang baru muncul setelah tiga bulan bahkan satu tahun setelah peristiwa traumatik dialami oleh individu. Biasanya gangguan trauma ini muncul dalam bentuk lain seperti gangguan tidur, depresi, stres dan kecemasan. Hasil survey yang ada menunjukkan bahwa 20% individu yang mengalami persitiwa traumatik akan mengalami gangguan stres pasca trauma ini (Van Etten & Taylor, 1998). Banyak juga diantaranya yang sangat tertekan (distres) oleh pengalaman traumatiknya, akibat tidak mendapatkan penanganan psikologis yang semestinya, sehingga menghambat keberfungsian hidup mereka sehari-hari (Kessler, et al, 1995).
Individu yang mengalami langsung bencana tsunami akan mengalami stres berkepanjangan. Dalam menjalani hidup keseharian, mereka memunculkan gejala pengalaman traumatik yang berupa ketakutan, keputusasaan, ketidakberdayaan, sering terbayang kembali peristiwa traumatik, hingga perilaku menghindar dari ingatan traumatik (Giaconia, et al. 1995).
Perilaku menghindar dari ingatan traumatik memang sangatlah irrasional, namun bagi mereka yang mengalami peristiwa secara langsung, situasi tersebut memang harus dihindari. Lazimnya para korban bencana alam, akan menghindari segala sesuatu yang disangka akan membawa kembali ingatan peristiwa traumatik itu ke dalam jiwanya. Pada sisi ini, remaja Aceh yang mengalami tsunami 26 Desember juga menunjukkan efek traumatik yang mendalam (Kendall & Hammen, 1998).
Trauma bukan hanya sebagai gejala psikis yang bersifat individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan individual tentang peristiwa yang mereka alami dan mengguncangkan jiwa mereka. Setiap kondisi trauma yang dialami individu dapat mencetuskan satu gangguan psikologis. Apabila gangguan tersebut terjadi dalam waktu sebelum sebulan disebut dengan gangguan stres akut, sedangkan gangguan yang terjadi sesudah sebulan disebut stres pasca trauma (Terr, 1988).
Gangguan PTSD dapat berwujud kecemasan, depresi, atau gangguan jiwa yang berat (psikotik). Sementara perwujudan gangguan psikologis pada PTSD sering kali berupa gejala kecemasan, depresi, tingkah laku impulsif, dan mudah marah serta tersinggung. Gejala lainnya berupa hambatan daya ingat, sulit berkonsentrasi, emosi yang labil, sakit kepala, dan vertigo.
Perilaku yang ditampilkan individu tersebut dapat berupa sikap berusaha menghindar secara persisten terhadap kejadian yang mirip tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu dibayang-bayangi mimpi tentang peristiwa yang menakutkan dan terjadi secara berulang-ulang, sehingga mereka mengalami gangguan di saat tidurnya. Bukan hanya itu, individu yang mengalami situasi tersebut tatkala terjaga juga kerap merasakan seolah-olah kejadian traumatis itu kembali terjadi di hadapannya. Mereka begitu peka terhadap lingkungannya secara berlebihan (cenderung curiga, paranoid), serta memiliki kewaspadaan berlebihan. Untuk itulah gangguan PTSD ini perlu untuk segera ditangani secara tepat dan adekuat.
Menurut Witkin (2005) dibutuhkan kepribadian yang stabil untuk menghadapi suatu stressor. Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Mönk, dkk (1996) menjelaskan bahwa kematangan emosi ditandai dengan kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita terhadap orang lain.
Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi membantu remaja sehingga dapat mengatasi trauma agar tidak mengalami kecemasan berkepanjangan. Remaja yang tidak memiliki kematangan emosi akan menampakkan ketidakmampuan mengendalikan emosi setelah peristiwa sehingga memiliki kecenderungan post-traumatic stress disorder yang lebih tinggi. Ketidakmatangan emosi remaja menyebabkan mereka semakin larut dalam kesedihan bahkan cenderung menarik diri, malas beraktivitas dan lebih agresif yang mengakibatkan kestabilan emosi dan hubungan sosial terganggu.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau melihat hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan post-traumatic stress disorder pasca tsunami pada siswa SMK I Aceh Besar.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder

Menurut Kendall dan Hammer (1998) stres dapat terjadi pada individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.
Pengalaman traumatik merupakan pemicu stres yang potensial untuk terjadinya gangguan stres. Trauma dapat disebabkan oleh suatu pengalaman seperti perampokan, kasus kekerasan, kebakaran, kecelakaan atau bencana alam. Boulware (2001) mendefinisikan kecenderungan post-traumatic stress disorder sebagai tinggi rendahnya kemungkinan seseorang untuk mengalami gangguan stres yang diakibatkan oleh pengalaman traumatik yang dialami. Stres yang berkelanjutan inilah yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder. Kecenderungan Post-traumatic stress disorder adalah kecenderungan individu untuk mengalami gangguan akibat peristiwa traumatis yang dialami setelah tiga bulan peristiwa.
Kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah perubahan neurohormonal dalam tubuh sehingga mengganggu perasaan emosional. Faktor eksternal yang mempengaruhi kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah peristiwa yang membuat traumatik sebagai stresor pemicu (Boulware, 2001).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994), terdapat tiga kelompok simptom post-traumatic stress disorder, yaitu :
1. Instrusive Re-experiencing, yaitu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Gejala-gejalanya antara lain peristiwa berulang-ulang muncul dan mengganggu perasaan, peristiwa muncul kembali dalam mimpi muncul gangguan psikologis ketika menyaksikan sesuatu yang mengingatkan pada peristiwa traumatik dan terjadi reaktivitas fisik seperti menggigil, jantung berdebar keras atau panik ketika bertemu dengan sesuatu yang mengingatkan pada peristiwa.
2. Avoidance, yaitu selalu menghindar dari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Gejala-gejalanya antara lain berusaha menghindar dari situasi, pikiran atau aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa traumatik, kurang perhatian terhadap kegiatan sehari-hari, merasa terpisah dari orang lain dan muncul perasaan menyerah pada masa depan, termasuk tidak mempunyai harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak atau hidup normal.
3. Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Gejala-gejalanya antara lain adalah mengalami gangguan tidur atau bertahan untuk selalu tidur, mudah marah dan meledak-ledak, sulit konsentrasi, gugup dan mudah terkejut.
Pada individu yang mempunyai kecenderungan post-traumatic stress disorder akan terlihat kombinasi sejumlah gejala spesifik dari ketiga kelompok simptom di atas, dan muncul tiga bulan setelah peristiwa traumatik terjadi (DSM-IV, 1994).

B. Kematangan Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emotus atau emover yang berarti mencerca atau menggerakkan (to stir up) yaitu sesuatu yang mendorong terhadap dalam diri individu. Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan salah satu respon fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk bertindak dalam usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsang yang ada di sekitarnya.
Menurut Green (2001), kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Mönk, dkk (1996) menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menyelesaikan problem-problem pribadi tanpa adanya keselarasan antara gangguan perasaan dan ketidakmampuan menyelesaikan masalah, kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita terhadap orang lain.
Mahmud (1996) menyatakan bahwa kematangan emosi memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Tidak “meledakkan” emosi dihadapan orang lain, melainkan mampu mengekspresikan emosi pada saat yang lebih tepat dan wajar dalam mengungkapkan emosinya sehingga lebih dapat diterima.
b. Dapat melihat situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang, mengabaikan rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.
c. Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.
Young (dalam Herina, 1991) mengemukakan dampak-dampak kematangan emosi terhadap ketahanan mental, yaitu :
1. Mampu menahan tekanan emosi, karena kematangan emosi membuat individu dapat menyeleksi tempat dan waktu yang tepat untuk mengungkapkan tekanan emosinya dalam bentuk yang wajar dan dapat diterima oleh orang lain
2. Mampu merespon stimulus, karena kematangan emosi memaksa individu untuk belajar mengabaikan beberapa stimulus yang sebelumnya dapat membangkitkan emosi dan merespon khusus terhadap stimulus yang lebih serius secara alamiah. Individu yang tidak memiliki kematangan emosi menjadi lebih mudah marah terhadap hal-hal sepele dan perasaannya mudah terluka
3. Mampu menggunakan fungsi kritis mental, karena dengan kematangan emosi individu dapat menilai secara kritis sebelum memberikan reaksi emosional. Individu yang memiliki kematangan emosi tinggi apabila mengalami pengalaman traumatik akan lebih mudah menerima kenyataan.

Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi membantu remaja sehingga dapat mengatasi trauma agar tidak mengalami kecemasan berkepanjangan. Remaja yang tidak memiliki kematangan emosi akan menampakkan ketidakmampuan mengendalikan emosi setelah peristiwa sehingga memiliki kecenderungan post-traumatic stress disorder yang lebih tinggi. Ketidakmatangan emosi remaja menyebabkan mereka semakin larut dalam kesedihan bahkan cenderung menarik diri, malas beraktivitas dan lebih agresif yang mengakibatkan kestabilan emosi dan hubungan sosial terganggu.

METODE PENELITIAN

A. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMK 1 Mesjid Raya Aceh Besar, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Mengalami sendiri gempa dan tsunami 26 Desember 2004
b. Tercatat sebagai siswa/i SMK 1 Mesjid Raya Aceh Besar pada tahun ajaran 2005/2006

B. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu :
1. Skala Kematangan Emosi
Skala kematangan emosi yang disusun oleh penulis merupakan modifikasi dari skala kematangan emosi yang pernah dibuat oleh Satriana (2004) berdasar teori Mahmud (1996). Modifikasi dilakukan dengan merubah beberapa kalimat dan penambahan aitem dari 30 aitem menjadi 50 aitem yang telah disesuaikan berdasarkan tujuan penelitian.
Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.
2. Skala Kecenderungan Post Traumatic Stress Disorder
Kecenderungan post traumatic stress disorder akan diukur dengan menggunakan skala kecenderungan post traumatic stress disorder milik Himawan (2004). Penulis melakukan modifikasi berupa perubahan kalimat dan penambahan aitem dari 37 aitem menjadi 50 aitem. Skala kecenderungan post traumatic stress disorder disusun berdasarkan gejala yang terdapat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994).

C. Validitas dan Reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan representatif, fungsional dan akurat apabila alat tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi (Azwar, 2004). Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Pearson. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas item skala adalah pendekatan konsistensi internal dengan tehnik analisis Alpha Cronbach. Pengujian validitas dan reliabilitas skala kematangan emosi dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder akan dilakukan dengan dengan memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows.

D. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah product moment. Keseluruhan komputasi data dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer dengan memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows yang merupakan salah satu dari perangkat lunak untuk mengolah data statistik.

HASIL PENELITIAN

A. Orientasi Kancah

SMK 1 Mesjid Raya terletak 200 m dari bibir pantai tepatnya di Jalan Laksamana Malahayati Km 15 Telp/Fax (0651) 21506 Neuheun Aceh Besar. Kerusakan fisik bangunan sekolah yang hancur mencapai 50% namun saat ini telah dibangun kembali dengan bantuan NGO asal Italia. Jumlah siswa sebelum tsunami terjadi sebanyak 300 orang dan saat ini hanya tersisa 82 orang yang terbagi dalam sembilan kelas.

B. Hasil Uji coba

Data-data uji coba selanjutnya dianalisis dengan bantuan komputer memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows. Analisis ini menggunakan teknik korelasi yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas skala yang digunakan.
1. Validitas alat ukur
Uji validitas dengan taraf signifikansi 5% terhadap 50 item kematangan emosi menghasilkan 46 item valid dan empat item gugur. Sedangkan pada skala kecenderungan post-traumatic stress disorder menghasilkan 47 item valid dan tiga item gugur dengan taraf signifikansi 5%.
2. Reliabilitas alat ukur
Hasil analisis reliabilitas skala kematangan emosi didapat koefisien alpha (rtt) sebesar 0,9676 dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder dihasilkan koefisien alpha (rtt) sebesar 0,9703.

C. Hasil Penelitian

1. Uji Normalitas Sebaran
Hasil perhitungan dari skala kematangan emosi diperoleh nilai K-SZ sebesar 0,100 dengan signifikansinya 0,077. Pada skala kecenderungan post-traumatic stress disorder diperoleh nilai K-SZ sebesar 0,104 dengan signifikansinya sebesar 0,058. Terlihat bahwa pada masing-masing skala p > 0,05 yang berarti sebarannya mengikuti kurve normal.
2. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas pada skala kematangan emosi dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder diperoleh nilai F = 39,819 dan p = 0,941 (p>0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel membentuk suatu garis lurus atau linear.
3. Uji Hipotesa
Hasil uji korelasi dan regresi variabel kematangan emosi dengan variabel post-traumatic stress disorder adalah -0,608 dan nilai p<0,01, sehingga hipotesis diterima.

C. Pembahasan

Hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari analisis data sebesar -0,608. Melihat perhitungan tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan post-traumatic stress disorder, begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi pula kecenderungan post-traumatic stress disorder. Adanya hubungan antara kematangan emosi dan kecenderungan post-traumatic stress disorder sesuai dengan pendapat Wiryasaputra (2006) yang menyatakan bahwa kematangan emosi merupakan hal yang penting bagi individu khususnya remaja. Apabila remaja mempunyai tingkat kematangan emosi yang tinggi, maka remaja akan mampu mengendalikan tingkat kecenderungan post-traumatic stress disorder pasca bencana.
Korelasi yang diperoleh sangat signifikan karena p = 0,000, artinya p < 0,01 atau dapat dikatakan bahwa kematangan emosi memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengurangi tingkat kecenderungan post-traumatic stress disorder. Koefisien Determinasi (r2) = 0,369 menjelaskan bahwa kematangan emosi memberikan sumbangan terhadap kecenderungan post-traumatic stress disorder sebesar 36 persen, artinya dengan kematangan emosi dapat mengurangi kecenderungan post-traumatic stress disorder sebesar 36 persen. Sedangkan 64 persen lainnya dipengaruhi oleh sumbangan variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tingkat kematangan emosi siswa SMK 1 Mesjid Raya tergolong sedang yaitu 54,29 persen. Menurut Witkin (2005) dibutuhkan kepribadian yang stabil untuk menghadapi suatu stressor. Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan semakin stabil pula kepribadiannya dan pengendalian emosi merupakan kuncinya.
Kecenderungan post traumatic stress disorder siswa tergolong tinggi yaitu sebesar 45,72 persen. Menurut Smet (1994) post-traumatic stress disorder merupakan reaksi berkepanjangan dari stres yang dialami individu. Kecenderungan post traumatic stress disorder yang terjadi pada siswa SMK 1 Mesjid Raya setelah bencana gempa dan tsunami disebabkan oleh ketegangan yang secara terus menerus dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, hingga berkembang menjadi situasi mental yang mengganggu. Trauma tsunami dimaknai oleh siswa sebagai ancaman hidup sehingga ketika gempa susulan yang terjadi sering dijadikan alasan untuk menghindar dari kewajiban sebagai pelajar, yaitu belajar dan pergi ke sekolah.
Kematangan emosi merupakan hal yang penting bagi individu khususnya bagi remaja. Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk keluar dari masalah, misalkan melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi dapat membantu remaja untuk mengatasi trauma sehingga tidak mengalami stres berkepanjangan karena matang secara emosional tidak hanya mampu mengontrol emosi, tapi dapat menerima dan menyadari arti rasa takut yang timbul apabila menghadapi hal-hal menakutkan tanpa berpura-pura memakai topeng keberanian.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan post-traumatic stress disorder.
2. Kematangan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 36 persen terhadap kecenderungan post-traumatic stress disorder.

B. Saran

Kepada pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang paling sering berinteraksi dengan siswa, diharapkan dapat memberikan pelatihan yang untuk mengembangkan kematangan emosi pada siswanya. Hal ini karena hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kecenderungan PTSD. Pelatihan yang dimaksud terutama bagi siswa yang tinggi kecenderungan PTSD-nya dan siswa yang rendah tingkat kematangan emosinya.

DAFTAR PUSTAKA

American Psyciatric Association, 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fouth Edition. Washington DC.

Azwar, S. 1997. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Boulware, E. 2001. Do I Have Anxiety. www.sidran.com.

Green, C.D. 2001, Classics in the History of Psychology. Jurnal, Bina Nusantara University, diakses di http://www.BiNusCareer.com/ 30-01-2006.

Herina, 1991. Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Prestasi Atlet. Skripsi Tidak diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.

Himawan, A.T., 2004. Hubungan antara Emotion-Focused Coping dengan Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder pada Karyawan Kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UAD.

Kendall, P.C., and Hammem, C., 1998. Abnormal Psychology, Human Problems Understanding. New York : Houghton Mifflin Company

Mahmud, M.D., 1996. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi I. Yogyakarta : BPFE.

Maulana, A., 2003. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder pada Korban Kerusuhan Ambon. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang : Fakultas Psikologi UNDIP.

Mönks, R.J, Knoers, A.M.P, dan Haditono, S.R. (1996). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Satriana, Y., 2004. Hubungan Sikap Keberagamaan dengan Kematangan Emosi pada Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang : Fakultas Psikologi UNDIP.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Witkin, G., 2005. Agar Badai Cepat Berlalu. Mengatasi Trauma Akibat Bencana-Besar maupun Kecil-Mulai Hari Pertama Hingga Setahun setelah Bencana. Bandung : Penerbit Kaifa.

Wiryasaputra, 2006 Pelayanan Psikologis Paska Bencana Traumatik (PPPBT) Post-Traumatic Disaster Psychological Services di akses di www.google.com, 21 April 2006

Tidak ada komentar: