Selasa, 07 Agustus 2007

Pengaruh Terapi Perilaku Kognitif Terhadap Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun







Triantoro Safaria
Nofrans Eka Saputra

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA

ABSTRAK

Penelitian tentang kecemasan telah banyak dilakukan. kecemasan menjelang masa pensiun biasanya dikaitkan dengan permasalahan Post Power Syndrome. Kecemasan ini dikaitkan dengan situasi keadaan individu yang sedang menghadapi masa pensiun dengan perasaan khawatir, tegang, malas bekerja, pada saat-saat akan menghadapi masa pensiun. Timbulnya kecemasan terhadap masa pensiun ini bukan semata-mata karena akan kehilangan pekerjaan dan nilai ekonomis, namun juga kehilangan yang bersifat psikologis seperti penghargaan dari orang lain, harga-diri, jabatan, dan kekuasaan. Terapi perilaku kognitif sebagai salah satu terapi aktif diharapkan dapat menurunkan tingkat kecemasan terhadap masa pensiun tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap kecemasan menjelang masa pensiun. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 subjek. Penelitian eksperimen ini menggunakan metode quasi-eksperimen dengan satu kelompok yaitu kelompok eksperimen. Teknik analisis data yang dipergunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan adalah teknik Friedman tes.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan sebelum terap, sesudah dan seminggu setelah (follow-up) mengalami terapi pada kelompok eksperimen dengan p = 0.516. Skor mean pre-tes sebesar 51.7000, sedangkan skor mean post-tes sebesar 48.8000 dan skor mean follow-up sebesar 50.2500.Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh terapi perilaku kognitif untuk menurunkan tingkat kecemasan menjelang masa pensiun pada pegawai Dinas Pendidikan DIY.

Kata Kunci: Kecemasan, Masa Pensiun, Terapi Perilaku Kognitif.

PENDAHULUAN

Bekerja pada hakekatnya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia, selain dapat memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan ego (Strause & Sayles, 1982; Hartati, 2002), dengan bekerja manusia juga mendapatkan simbol identitas diri (Troll, 1975; Hendarti, 2003).
Sejalan dengan pendapat Strause dan Sayles, tentang bekerja, Kartini Kartono (1986) mengemukakan bahwa; bekerja dan kerja adalah aktivitas yang esensial dalam kehidupan manusia, sama halnya dengan bermain bagi anak-anak. Dengan demikian kegiatan bekerja untuk setiap manusia dewasa, tentunya memberikan kesenangan tersendiri bagi kehidupannya, karena itu kerja merupakan sentrum sosial yang memberikan penghargaan, status sosial dan prestise sosial, serta dapat memberikan kesejahteraan lahir dan batin bagi individu.
Secara psikologis, setiap individu memiliki pengertian yang berbeda tentang istilah bekerja. Ada yang menilai bekerja/ kerja merupakan panggilan atau tuntutan rohani untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan pendapat lain menilai, bekerja adalah kegiatan rutinitas untuk mengisi waktu luang di usia produktif (Hartati, 2002).
Realita yang terjadi pada saat ini adalah setiap pekerjaan ada batas waktunya ataupun sering disebut masa pensiun, yaitu masa tidak bekerja lagi dengan menerima uang tunjangan bulanan (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1997). Di Indonesia masa pensiun akan dimulai apabila para pekerja telah memasuki umur 55 tahun sampai dengan 65 tahun (Prawitasari, 1994).
Menurut Hartati (2002) reaksi sikap terhadap masa pensiun ada tiga bentuk: (1) menerima; (2) terpaksa menerima dan (3) menolak.
Sikap menerima kemungkinan disebabkan karena individu telah mempersiapkan diri menghadapi pensiun dan merasa wajar merasakannya, sikap terpaksa menerima kemungkinan disebabkan karena merasa dirinya masih produktif dan terpaksa mempersiapkan diri untuk pensiun meskipun tidak diinginkannya. Sedangkan sikap menolak, datangnya disebabkan karena dirinya tidak mengakui bahwa dirinya harus pensiun (Hartati, 2002).
Penolakan terhadap masa pensiun tersebut, biasanya tidak jauh halnya terhadap rasa ketidakinginan seorang untuk kehilangan kekuasaan, wewenang dan kekuatan (powerless) pada satu jabatan pekerjaan tertentu, dan tentunya sikap ini akan menunjukkan reaksi psikologis yang bermacam-macam pula, seperti munculnya gejala-gejala stress seperti sering marah, susah tidur, malas sering pusing, ataupun muncul kecemasan-kecemasan jika uang pensiunnya tidak cukup nantinya (Helmi, 2000).
Secara teoritis, sikap penolakan terhadap masa pensiun tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kecemasan. Menurut Hurlock kecemasan adalah pikiran yang tidak menyenangkan pada masa akan datang atau mengantisipasi rasa sakit dan keadaan itu lebih banyak ditimbulkan oleh individu itu sendiri (Dwita & Johana, 2002).
Pada dasarnya kecemasan menjelang masa pensiun tersebut, merupakan bentuk kecemasan state anxiety, dimana seseorang individu merasakan kecemasan didalam keadaan tertentu yang membuatnya cemas sehingga, individu tersebut mudah menginterpretasi secara subjektif.
Respon-respon kecemasan dapat diinterpretasi secara psikologis, seperti tegang, kurang konsentrasi, dan gelisah. Blackburns dan Davidson (1994) membuat Analisis Fungsional Gangguan Kecemasan, yang menjelaskan reaksi terhadap kecemasan (Dwita & Johana, 2002).

Menurut Jacinta F. Rini (Team e-Psikologi, 2001) Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan, sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak.
Menurut Burns (1995) emosi ataupun rasa cemas tersebut disebabkan oleh adanya dialog internal dalam pikiran individu yang mengalami kecemasan ataupun perasaan cemas. Pada pikiran pegawai/pekerja yang akan pensiun dialog internal tersebut biasanya diawali melalui proses persepsi yang salah tentang masa pensiun, sehingga akan menghasilkan interpretasi negatif secara subjektif dan otomatis oleh pegawai atau pekerja yang akan pensiun.
Terkadang reaksi cemas/ penolakan tersebut, kerap sering merubah perilaku pegawai/pekerja tersebut, menjadi malas, membolos disaat kerja, ataupun bersantai dengan kegiatan menghibur diri sendiri dengan mengabaikan pekerjaan kantor.
Penelitian yang dilakukan Helmi (2000) yang menyimpulkan tentang pentingnya mengelola stress pra purna bakti dan Penelitian yang dilakukan Djaja (1990) tentang kecemasan pada anggota POLRI yang menghadapi purna tugas di Kepolisian wilayah Yogyakarta memberikan masukan untuk menfasilitasi kesiapan seseorang pegawai/pekerja dalam menghadapi kecemasan menjelang masa pensiun.
Terapi perilaku kognitif yang merupakan hasil dari penggabungan dua bentuk terapi (terapi kognitif dan perilaku) dengan paradigma humanis dalam menerapkan teori belajar dalam pengembangan teknik terapinya, diharapkan mampu menfasilitasi dan menekan kecemasan yang dirasakan oleh pegawai/pekerja yang akan pensiun, sehingga dapat meningkatkan/ memproduksi pikiran dan perilaku positif dan dapat meningkatkan kontrol diri yang baik disaat akan maupun setelah pensiun.

METODE PENDEKATAN

Defenisi Operasional Variabel

Variabel tergantung dari penelitian ini yaitu kecemasan, sedangkan variabel bebasnya adalah terapi perilaku kognitif.
Kecemasan adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan, penuh kegelisahan dan penyebab timbulnya tidak jelas atau lebih karena interpretasi subjektif individu yang mengalaminya, sedangkan definisi kecemasan menjelang masa pensiun memiliki pengertian yaitu merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan penuh kegelisahan yang ditimbulkan oleh interpretasi subjektif dari individu yang mengalaminya yang memandang masa pensiun sebagai suatu permasalahan yang baru sehingga membuat individu tersebut mengalami konflik secara internal maupun eksternal.
Terapi perilaku kognitif adalah terapi yang merupakan hasil dari penggabungan dua bentuk terapi (terapi kognitif dan perilaku) yang berparadigma humanis yang menerapkan teori belajar dalam pengembangan teknik terapinya dan menginginkan pasien untuk memperkuat fungsi keterampilan perilaku dan kognitif untuk menciptakan perubahan pandangan hidup yang negatif menjadi positif dan mengharapkan klien agar menjadi aktif dan dinamis dalam menjalankan segala bentuk terapinya.

Desain Eksperimen

Penelitian ini menggunakan metode quasi-eksperimen dengan hanya satu kelompok yaitu kelompok eksperimen. Desain ini menggunakan perbandingan hasil skor pre-tes dengan skor post-tesnya dan skor foloow-up setelah seminggu menjalani terapi pada kelompok eksperimen tersebut.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
Surat persetujuan subjek.
Surat persetujuan subjek digunakan sebagai bukti bahwa subjek setuju dan mau melakukan penelitian dengan segala keuntungan dan resikonya. Dalam surat persetujuan subjek diuraikan juga mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian
Modul pelatihan.
Modul pelatihan digunakan sebagai pegangan pelatih dalam melatih subjek.
Rekaman audio instruksi relaksasi.
Rekaman audio instruksi relaksasi otot dipinjamkan kepada subjek untuk latihan relaksasi di rumah.
Handy camp
Untuk merekam jalannya penelitian pada setiap sesi pertemuan.
Makalah
Untuk menjelaskan tentang perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini. kepada subjek eksperimen diberikan makalah yang berjudul “Kecemasan menjelang masa pensiun dan bagaimana penanganannya”.
Skala kecemasan menjelang masa pensiun
Untuk mengungkap kecemasan menjelang masa pensiun di gunakan skala kecemasan terhadap masa pensiun. Penyusunan skala didasarkan pada analisis gangguan fungsional kecemasan dari Blackburn dan Davidson (1994). Skala ini terdiri dari 25 aitem berupa pernyataan-pernyataan yang bersifat favorable dan unfavorable. Masing-masing pertanyaan memiliki 4 alternatif jawaban yaitu SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai) skor bergerak dari 1-4. Setelah skala diuji coba melalui metode Cronbach’s Alpha menghasilkan tingkat reliabilitas sebesar (rtt) 0.872.
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Ruang Serba Guna (SG) Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan 1 kelompok yaitu kelompok eksperimen yang memperoleh perlakuan terapi perilaku kognitif.
Eksperimen dilakukan oleh 1 orang terapis dalam 5 sesi selama 5 jam. Setiap pertemuan kurang lebih 60 menit.

Subyek

Karakteristik populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah pegawai negeri Dinas Pendidikan dengan karakteristik :
1) Usia minimal 50 tahun.
2) Tidak memiliki pekerjaan selain dalam satu institusi.
3) Hendak pensiun sekurang-kurangnya dalam waktu 3 tahun kedepan.

Pengambilan Data

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling yaitu pemilihan subjek penelitian secara acak (Kerlinger, 2002).
Penelitian ini menggunakan skala kecemasan menjelang masa pensiun yang di adaptasi dari aspek-aspek analisis gangguan fungsional kecemasan Blackburn & Davidson (1994) yang telah dimodifikasi oleh peneliti sendiri.

Analisis Data

Analisis data mengunakan statsitik nono-parametrik yaitu tes Friedman dengan membandingkan sko pre-tes dengan skor post-tes, dan skor follow-up pada kelompok eksperimen. Hal ini dilakukan karena tidak terpenuhinya asumsi normalitas sebaran. Analisis data mengunakan program statistik SPSS for Windows seri 12.

HASIL

Hasil tes Friedman menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kecemasan menjelang masa pensiun yang signifikan sebelum terapi, sesudah terapi dan seminggu setelah (follow-up) mengalami terapi perilaku kognitif pada kelompok eksperimen dengan p = 0.516. Skor mean pre-tes sebesar 51.7000, sedangkan skor post-tes sebesar 48.8000 dan skor follow-up sebesar 50.2500. Sehingga tidak ada penurunan tingkat kecemasan diantaranya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh terapi perilaku kognitif untuk menurunkan tingkat kecemasan menjelang masa pensiun pada kelompok eksperimen.

PEMBAHASAN

Terapi psikologi adalah suatu bentuk proses terstruktur, yang mempunyai tujuan untuk meredakan symptom-symptom penyakit dari membantu pasien-pasien agar dapat mempelajari cara-cara yang lebih efektif untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yamg menyebabkan penderitaan (Blackburn & Davidson, 1994). Terapi psikologi dalam penerapannya untuk penyelesaian masalah psikologis ada berbagai bentuk, salah satunya adalah terapi perilaku kognitif. Terapi kognitif adalah jenis terapi yang berkembang dari terapi perilaku yang mendasarkan diri pada teori belajar seperti teori konditioning klasik, konditioning operan dan modelling. Terapi kognitif dalam penerapanya merupakan suatu bentuk perlakuan terapi dengan cara membantu subyek untuk mengidentifikasi pemikiran otomatis yaitu cara menafsirkan serta belajar untuk menganalisis dan menguraikan kembali pengalamannya dengan cara rasional dan positif (Hartanti, 2002).
Secara luas terapi kognitif berisi berbagai teknik dari beberapa pendekatan yang berupaya mengurangi gangguan emosional. Cara berpikirnya yang menyimpang selama ini membuat dirinya dalam keadaan tidak dapat diluruskan. Sehingga terapi kognitif ini sangat cocok untuk individu-individu yang mempunyai kemampuan introspeksi dan mampu merefleksikan pikiran-pikirannya juga fantasi-fantasinya (Burns, 1995).
Terapi kognitif bertujuan untuk memelihara perilaku yang efisien dengan memperkuat fungsi keterampilan kognitif untuk menciptakan perubahan. Asumsi dasar dari terapi perilaku kognitif adalah emosi dan perilaku individu secara luas dipengaruhi oleh cara individu melihat dunianya, cara individu mempersepsikan dirinya dan lingkungan sekitarnya (Beck, 1963).
Menurut kamus lengkap psikologi (2002) terapi perilaku atau tingkah laku adalah penerapan secara sistematik teknik-teknik dan prinsip-prinsip belajar pada pengobatan terhadap penderita gangguan tingkah laku. Menurut Ronen (Triantoro, 2004) dalam penerapannya terapi perilaku menekankan pada data empiris, assesmen perilaku, dan evaluasi hasil terapi melalui perilaku yang bisa diobservasi. Terapi perilaku sangat menfokuskan pada gangguan dan kekacauan tingkah laku yang disebabkan karena perilaku yang maladaptif. Oleh karena itu tingkah laku tersebut dapat diubah kearah bentuk-bentuk tingkah laku yang lebih cocok dan sesuai lewat usaha belajar ulang (relearning).
Menurut Burns (1995) emosi ataupun rasa cemas tersebut disebabkan oleh adanya dialog internal dalam pikiran individu yang mengalami kecemasan ataupun perasaan cemas. Dialog internal pada pegawai/pekerja yang akan pensiun tersebut biasanya diawali melalui proses persepsi yang salah terhadap masa pensiun, sehingga menghasilkan interpretasi secara subjektif tentang keadaan masa pensiun.
Teknik kognitif merupakan suatu pendekatan terapeutik yang memodifikasi pikiran, premis, asumsi, dan sikap yang ada pada individu (Meichenbaum, 1979). Tujuan teknik kognitif adalah mengubah mood dan perilaku individu dengan mempengaruhi pola berpikirnya yang salah atau negatif (Burns, 1995).
Sedangkan relaksasi merupakan suatu teknik atau metode di dalam terapi perilaku yang dapat digunakan untuk merelakskan otot-otot yang tegang ketika individu mengalami kecemasan. Dengan belajar mengidentifikasi dan melemaskan otot-otot yang tegang di tubuh, maka rasa cemas dapat dikontrol. Individu yang melakukan latihan-latihan relaksasi secara rutin dapat memperoleh keterampilan untuk menekan kecemasan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa relaksasi efektif untuk mengurangi kecemasan berbicara di muka umum (Muhana, 1998).
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kecemasan menjelang masa pensiun pada kelompok eksperimen. Hal ini kemungkinan karena pemberian terapi yang hanya sekali selama 5 jam. Secara ideal dibutuhkan minimal 5 kali pertemuan untuk menjalani terapi kognitif perilaku, sehingga subyek akan mengalami proses belajar yang optimal. Jika proses belajar yang dijalani subyek optimal, maka akan menghasil hasil belajar yang optimal juga. Hasil belajar yang optimal akan menghasilkan pemahaman akan teknik-teknik terapi kognitif-perilaku yang diajarkan, sehingga subyek mampu menerapkan teknik-teknik tersebut secara benar dan efektif. Selain itu terapi kognitif-perilaku adalah terapi aktif sehingga membutuhkan partisipasi aktif subyek untuk mau berlatih dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika subyek mau menerapkan teori dan teknik terapi yang diajarkan, maka subjek akan mampu memperkuat fungsi keterampilan perilaku dan kognitif untuk menciptakan perubahan pandangan hidup yang negatif menjadi positif.
Selama pelaksanaan terapi berlangsung, dilakukan observasi terhadap subyek eskperimen. Hasil observasi menunjukkan bahwa hanya sebagian subyek yang mau berlatih teknik terapi kognitif-perilaku, sebagiannya tidak begitu antusias mengikuti proses terapi tersebut. Selama seminggu setelah menjalani terapi kognitif-perilaku (follow-up), subyek dianjurkan untuk berlatih di rumahnya. Namun dari hasil pengumpulan pekerjaan rumah, hanya sebagian kecil subyek yang mau melatihnya di rumah. Akibatnya manfaat dari terapi kognitif–perilaku tidak bisa dirasakan dan dialami subyek.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif tidak berhasil dalam menurunkan kecemasan menjelang masa pensiun pada pegawai Dinas Pendidikan Yogyakarta. Hal ini dikarenakan sesi terapi yang hanya satu kali pertemuan selama 5 jam. Rendahnya partisipasi subjek eksperimen selama mengikuti terapi, dan keengganan subjek eksperimen untuk mau berlatih di rumah selama seminggu setelah menjalani terapi kognitif-perilaku.

DAFTAR PUSTAKA
Burns, D . D. (1998). Terapi Kognitif : Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi. Terjemahan. Jakarta :Penerbit Airlangga.

Chaplin, J.P., Penerjemah Dr. Kartini Kartono (1999)., Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawali Pers.

Djaja, Dkk. (1990)., Kecemasan Pada Anggota POLRI yang Menghadapi Purna Tugas Kepolisian Wilayah Yogyakarta. Jurnal Kesehatan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Dwita, A dan Johana N (2002)., Pengaruh Musik Terhadap Kecemasan Penderita Katarak Menjelang Operasi. Anima, Indonesia Psychological Jurnal. Surabaya.
: Universitas Surabaya.

Esti H.P dan Muhana. (1998)., Efektifitas Terapi Perilaku Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara Di Muka Umum. Jurnal Psikologi. Yogyakarta :Universitas Gadjah Mada.

Hartati, N. (2002)., Post Power Syndrome Sebagai Gangguan Mental Pada Pensiun. Tazkiya Vol 2, No 1. Jakarta : Universitas Islam Negeri.

Helmi, A.F.(1995)., Pengelolaan Stress Pra Purna Bakti. Psikologika No 9 Th V 2000. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Hendarti. F. (2003)., Tingkat Depresi Purnawirawan ABRI yang Bekeja dan Tidak Bekerja. Jurnal Psikologi. Malang : Universitas Merdeka.

Kerlinger, Fred. N. 2002. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan Kedelapan. (terjemahan). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Prawitasari, J. E., (1994)., Aspek Sosio-Psikologis Lansia Di Indonesia. Buletin Psikologi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

Prawitasari, J.E. 2002. Psikoterapi : Pendekatan Konvensional dan Kontemporer.
Editor. M.A. Subandi. Yogyakarta : Unit Publikasi Fakultas Psikologi
Gadjah Mada.

Triantoro, Safaria. (2004)., Terapi Kognitif-Perilaku Untuk Anak. Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu.

Yandianto. (1997)., Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung : Penerbit M2S.

Tidak ada komentar: