Selasa, 07 Agustus 2007

Perbedaan Tingkat Kerbermaknaan Hidup antara Narapidana Kasus Narkoba LP Wirogunan dengan Mahasiswa Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup antara Kelompok Pengguna Napza dengan Kelompok Non-pengguna Napza.

Triantoro Safaria
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Kebermaknaan hidup merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap manusia. Ketidakmampuan manusia dalam mencapai makna dalam hidupnya akan menimbulkan dampak psikologis yang negatif. Diantara dampak tersebut adalah sulit merasakan kebahagiaan, merasa hidupnya hampa dan kosong, depresi bahkan menuju tindakan bunuh diri.
Penelitian ini menguji apakah ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup antara pengguna napza dengan non-pengguna. Subjek penelitian untuk kelompok pengguna napza diambil dari narapidana kasus narkoba LP Wirogunan Yogyakarta, sedangkan kelompok non-pengguna diambil dari mahasiswa Fakultas Psikologi UAD Yogyakarta.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji-t menghasilkan p = 0.132 > 0.05. Mean kelompok pengguna sebesar 100.034 sedangkan kelompok non-pengguna sebesar 108.34, dan A1-A2 = -1.514. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup antara kelompok narapidana pengguna napza dengan kelompok mahasiswa non-pengguna napza.

Kata kunci : Kebermaknaan hidup, Narapidana kasus napza.

PENDAHULUAN

Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000 kasus penyalahgunaan napza, namun pada saat ini telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan napza ini, kemudian membentuk badan nasional untuk menanggulangi masalah napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti Granat, kelompok No-Drugs, dan lain-lain.
Kelompok yang menjadi sasaran napza ini adalah generasi muda yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik penyalahgunaan napza. Di antara generasi muda ini adalah mahasiswa yang sebenarnya merupakan calon intelektual yang akan memajukan pembangunan bangsa.
Beberapa saat yang lalu di Yogyakarta polisi menangkap lima oknum SMA dan mahasiswa yang memakai serta mengedarkan napza (Kedaulatan Rakyat, 19 Maret 2004). Beberapa saat yang lalu juga di Yogyakarta, polisi berhasil menggrebek tempat kost mahasiswa dan menangkap 6 orang oknum mahasiswa yang sedang berpesta napza diantaranya 2 orang siswa SMA. Kejadian ini jelas sangat memalukan dan merusak citra Yogyakarta sebagai kota Budaya dan Pendidikan.
Beja (dalam Budiharto, 2005) memaparkan tentang penyebaran dan peredaran napza di DIY sebagai berikut :
1. Tahun 1999 jumlah perkara yang terungkap 67 kasus dengan julah tersangka 93 orang, 46 diantaranya adalah mahasiswa, 5 pelajar.
2. Tahun 2000 jumlah perkara yang terungkap 162 kasus dengan jumlah tersangka 191 orang, 72 diantaranya mahasiswa, 15 pelajar.
3. Tahun 2001 jumlah perkara yang terungkap 170 kasus dengan jumlah tersangka 199 orang, 50 diantaranya mahasiswa, 24 pelajar.
4. Tahun 2002 jumlah perkara yang terungkap 186 kasus dengan jumlah tersangka 208 orang, 92 diantaranya mahasiswa, 14 pelajar.
5. Tahun 2003 jumlah perkara yang terungkap 207 kasus dengan jumlah tersangka 245 orang, 118 diantaranya mahasiswa, 9 pelajar.
6. Bulan Januari s/d Maret 2004 jumlah perkara yang sudah terungkap sebanyak 48 kasus dengan jumlah tersangka 54 orang, 21 diantaranya mahasiswa/pelajar.

Resiko terhadap HIV/AIDS juga mengancam para pecandu narkoba. Penggunaan narkoba dengan cara suntikan berisiko untuk menularkan penyakit karena biasanya jarum suntik digunakan secara bersama. Selain itu, jarum yang tidak steril dapat mengakibatkan berbagai kuman penyakit masuk tubuh dan menimbulkan infeksi di katup jantung, paru-paru, atau organ tubuh lainnya. Data sementara menunjukkan, 25 persen pengguna narkoba tertular HIV, dan 75-90 persen tertular Hepatitis B dan C. Sebanyak lima persen mengalami gangguan kejiwaan atau skizofrenia dan harus menjadi pasien rumah sakit jiwa (Kompas Cyber Media, 2002).
Krisis makna hidup diduga juga ikut mendorong para remaja menggunakan narkoba. Keadaan hidup yang kosong dan hampa menyebabkan munculnya perasaan sepi dan bosan. Hal ini mendorong mereka mencari jalan pintas untuk mengatasinya. Melalui penggunaan narkoba mereka berusaha untuk memperoleh hidup yang bebas dari kecemasan, kekosongan dan kehampaan. Keadaan di atas ditegaskan oleh Frankl (1977; dalam Koeswara, 1992; Bastaman, 1996) sebagai frustasi eksistensialism (existensialism frustation) yang semakin meningkat. Peningkatan frustasi eksistensial ini menimbulkan dampak negatif. Gejala-gejala yang tampak dari adanya frustasi eksistensial adalah meningkatnya bunuh diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, depresi, stres, psikpatologi, kekerasan dan kejahatan.
Penelitian psikologis menunjukkan bahwa makna hidup sangat penting bagi keseimbangan fisik dan emosional. Studi Sheffied dan Pearson mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara kecenderungan neurotik dan introversi sosial yang diungkap melalui tes Eysenk Personality Inventory dengan rendahnya skor tes PIL (Purpose in Life test) yang mengungkapkan kebermaknaan hidup (dalam Yalom, 1980). Salle dan Casciani melaporkan semakin tinggi taraf frustasi dan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara seksual para subjek, semkain rendah skor PIL yang diperolehnya. Hasil studi Braun dan Dolmino menunjukkan skor tes PIL remaja deliquent lebih rendah dari remaja non-deliquent (dalam Yalom, 1980).
Hawari (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi apakah seseorang akan terlibat penyalahgunaan napza ini yaitu faktor predisposisi, faktor kontribusi, dan faktor pencetus. Variabel-variabel yang masuk di dalam faktor predisposisi ini diantaranya kepribadian individu seperti kecemasan, depresi, atau adanya gangguan kepribadian antisosial. Variabel-variabel yang masuk dalam faktor kontribusi diantaranya adalah kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua dan hubungan interpersonal di dalam keluarga itu sendiri. Variabel-variabel yang masuk di dalam faktor pencetus diantaranya pengaruh teman sebaya, peer groups dan kemudahan memperoleh napza itu sendiri.
Faktor predisposisi lain yang ikut bertanggungjawab atas penyalahgunaan napza adalah adanya kecemasan dan depresi pada individu (Gossop, 1994). Semakin tinggi tingkat depresi dan kecemasan yang dialami individu, maka akan semakin besar resikonya untuk terlibat penyalahgunaan napza. Remaja-remaja yang kehilangan tujuan hidup dan kebermaknaan hidup mudah sekali mengalami kecemasan dan depresi. Hal ini mendorong mereka terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Mereka mencari kebahagiaan melalui narkoba, walaupun kebahagiaan itu semu adanya.
Pertanyaannya adalah mengapa banyak oknum mahasiswa yang terlibat kasus penyalahgunaan napza ini. Bagaimana mungkin mahasiswa-mahasiswa ini yang sebenarnya mampu berpikir rasional terlibat dalam kasus napza. Faktor-faktor apa saja yang mendorong dan mencegah mereka terlibat dalam penyalahgunaan napza. Seandainya faktor-faktor pendorong dan pencegah ini dapat diketahui, maka kemungkinan penanganan kasus Napza ini akan lebih terarah, sistematis dan efektif.
Penelitian ini sendiri mencoba untuk melihat peranan kebermaknaan hidup dalam mencegah penyalahgunaan napza di kalangan pencandu narkoba dan non-pecandu. Diasumsikan jika tingkat kebermaknaan hidup individu tinggi maka individu kemungkinan akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap godaan mengunakan napza. Dari penjelasan-penjelasan di atas jelaslah bahwa tingkat kebermaknaan hidup kemungkinannya merupakan faktor yang memperkuat individu untuk tidak tergoda dalam penyalahgunaan napza. Penelitian ini kemudian berfokus untuk mencari perbedaan antara tingkat kebermaknaan hidup pada kelompok pengguna napza dan kelompok non-pengguna di kalangan mahasiswa.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyalahgunaan Narkoba

Untuk lebih memperjelas fokus penelitian ini maka perlu dikemukakan berbagai macam konsep seputar penyalahgunaan napza. Banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah diseputar penyalahgunaan napza ini, dan dibawah ini akan dijelaskan secara umum.
Obat (drugs) adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi tubuh atau pikiran (Thornberg, 1962). WHO (dalam Haryanto, 1989) memberikan batasan tentang obat sebagai setiap zat (bahan subtansi) yang jika masuk ke dalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut.
Penyalahgunaan obat (drug abuse) adalah pemakaian obat secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau dipergunakan tanpa mengikuti aturan takaran/dosis yang sebenarnya (Haryanto, 1989). Penyalahgunaan obat ini dicirikan sebagai pola penggunaan zat secara patologis, hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan serta telah mengunakannya dalam periode lebih dari tiga bulan.
Narkotika adalah sejenis obat-obatan yang tergolong dalam jenis psikotropika yaitu obat-obatan yang jika dipakai dapat mempengaruhi perasaan, persepsi dan kesadaran individu (Poeroe, 1989). Narkotika berasal dari bahasa Yunani narkoun yang berarti membuat lumpuh, membuat mati rasa atau bisa juga dikatakan dari bahasa Yunani lainnya yaitu narkotikos yang artinya keadaan tanpa sensasi (Jokosuyono, 1980; Poeroe, 1989).
Pada saat ini istilah narkotika dipakai sebagai sinonim untuk obat-obat terlarang, khususnya opium yang berasal dari getah buah poppy (papayer somniverum). Di Indonesia istilah narkotika atau napza disinonimkan dengan drug yaitu semua zat yang jika masuk/dimasukkan kedalam tubuh akan mempengaruhi fungsi tubuh (Soejdono, 1970).
Menurut undang-undang narkotika Republik Indonesia Nomor 9/1976 jenis narkotika digolongkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok opiat atau candu (papaper Somniverum)
2. Kelompok ganja (Cannabis sativa)
3. Kelompok koka (erythrolon coca).
Adapun jenis narkotika dan obat yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut (Haryanto, 1989; Davidson & Neale, 1974) yaitu :
1. Kelompok penenang syaraf yaitu :
a. Alkohol
b. Transkuiliser :
-Transkuiliser mayor, misalnya largactil, leponex, serenase,
dan stelasine.
-Transkuiliser minor, misalnya activan, lexotan, sedatin,
dan valium.
c. Sedative (hipnotikum) : barbiturat, misalnya dumolid, mogadon, rohypnol.
d. Narkotika (opiat) : candu, morfin, heroin.
2. Kelompok perangsang syaraf misalnya amphetamin, kokain, dan kafein.
3. Kelompok halusinogen misalnya LSD, jamur, kecubung dan pala.
4. Kelompok cannabis misalnya ganja, haisis, dan mariyuana.
5. Kelompok inhalansia misalnya jenis lem uhu, aseton, minyak cat, bensin, karbol,
dan eter.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa alasan remaja (mahasiswa) menyalahgunakan napza sangatlah bervariasi. Mengapa demikian, remaja masih dalam fase transisi menuju masa dewasa, berjuang untuk mencapai kebutuhan akan pengakuan, pencarian identitas, dan masih memiliki kelabilan emosi (Yatim, 1985). Bahkan beberapa dari mereka terjertumus dalam penyalahgunaan napza lebih banyak disebabkan oleh rasa ingin tahu dan perilaku coba-coba. (Haditono, 1989).
Alasan-alasan lain kenapa banyak remaja atau khususnya mahasiswa menyalahgunakan napza misalnya, adanya rasa ingin tahu, tekanan teman sebaya, menentang orang tua, pelarian dari masalah, memberontak terhadap otoritas masyarakat ( Monks, dkk 1987). Menurut Hilman (1985) dan Haryanto (1989) ada beberapa ciri kepribadian yang beresiko tinggi untuk menyalahgunakan napza, anatara lain mudah kecewa, tidak sabaran, sifat suka memberontak, suka mengambil resiko, mudah bosan atau jenuh, dan kebanyakan memiliki tingkat religiusitas yang rendah, serta memiliki harga-diri yang rendah.
Penyalahgunaan narkoba secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu pertama, ketergantungan primer yang ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada individu dengan kepribadian yang tidak stabil. Kedua, ketergantungan simtomatis yaitu penyalahgunaan narkoba sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya. Pada umunya terjadi pada individu dengan kepribadian antisosial. Ketiga, ketergantungan reaktif yaitu terutama terdapat pada para remaja karena dorongan rasa ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok sebayanya sehingga menyebabkannya menjadi pengguna narkoba.

B. Tingkat Kebermaknaan Hidup

Kebermaknaan hidup didefiniskan sebagai keadaan penghayatan hidup yang penuh makna yang membuat individu merasakan hidupnya lebih bahagia, lebih berharga, dan memiliki tujuan yang mulia untuk dipenuhinya (Frankl, 1977; Koeswara, 1992; Bastaman, 1996). Individu yang mencapai kebermaknaan hidup akan merasakan hidupnya penuh makna, berharga dan memiliki tujuan mulia, sehingga inividu terbebas dari perasaan hampa dan kosong.
Menurut Frankl (1977) gejala-gejala dari orang yang kehilangan makna hidupnya, ditunjukkan dengan perasaan hampa, merasa hidup tak berarti, merasa tak memiliki tujuan hidup yang jelas, adanya kebosanan dan apatis. Gejala-gejala ini merupakan akibat tidak terpenuhinya sumber makna hidup dalam diri manusia. Penghayatan hidup tanpa makna bisa saja tidak tampak secara nyata, tetapi terselubung di balik berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure), termasuk di dalamnya mencari kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to money).
Jika keadaan hidup tanpa makna ini terjadi pada diri individu secara berlarut-larut, maka akan memunculkan gangguan psikis, atau simptom yang dinamakan sebagai neurosis noogenik (Frankl, 1977; Koeswara,1992; Bastaman, 1996). Gangguan ini dapat anda pahami dengan menyadari gejala-gejalanya seperti timbulnya keluhan-keluhan bosan, perasaan hampa, dan penuh keputusasaan. Individu juga akan kehilangan minat terhadap kegiatan yang sebelumnya menarik bagi anda, hilangnya inisiatif, merasa hidup tidak ada artinya, menjalani hidup seperti tanpa tujuan. Keadaan ini selintas seperti gangguan depresif, tetapi pengobatan dengan anti-depresan tidak mampu menghapusnya.
Berlawanan dengan penghayatan hidup tak bermakna, orang yang telah terpenuhi kebermaknaan dalam hidupnya akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Mereka memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan yang harus dicapai, sehingga menyebabkan kegiatan mereka menjadi lebih terarah.
Kebutuhan untuk hidup bermakna mendorong individu untuk mencari dan
memenuhinya. Ketika individu berhasil memenuhinya, maka hidup bermakna akan dicapainya. Hasil dari adanya kehidupan yang bermakna ini akan memunculkan kebahagiaan. Sebaliknya jika individu tidak berhasil memenuhi kebutuhan makna hidup ini, maka individu akan menjalkani ketidakbermaknaan hidup. Akibatnya individu akan mengalami kehampaan eksistensial. Adanya kehampaan eksistensial ini akan memunculkan gangguan neurosis noogenik.

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian dan Pengumpulan data

Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data yang bersifat kuantitatif dengan mengunakan metode statistik. Analisis data yang digunakan adalah Uji-t. Data diolah mengunakan program statistik SPS (Sutrisno & Yuni Pamardiningsih, 2000).
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala PIL (Purpose in Life Test) yang diadaptasi dari Frankl (dalam Koeswara, 1992). Skala ini sebagai alat ukur penelitian, sebelum digunakan akan diuji validitas dan reliabilitasnya. Tujuannya adalah agar alat yang digunakan dalam penelitian ini akurat dan dapat dipercaya (Azwar, 1992). Hasil uji kesahihan butir menunjukkan dari 60 butir, 40 butir gugur dan 20 butir sahih. Dengan rbt bergerak antara 0.444 - 0.614. Hasil uji reliabilitas mengunakan alpha Cronbach menghasilkan rtt = 0.885.
Metode wawancara mendalam digunakan untuk mengumpulkan pengalaman dan penghayatan hidup subjek penelitian secara verbal. Digunakan untuk memahami pengalaman penghayatan hidup subjek berkaitan dengan makna hidup dan kebermaknaan hidup. Analisis yang digunakan adalah analisis isi dari pernyataan verbal subjek penelitian. Melalui analisis isi ini akan dianalisis pengalaman-pengalaman fenomenologis yang diungkapkan subjek melalui wawancara mendalam (Yin, 1995; Poerwandari, 1998; Moloeng, 1995).
Subyek dalam penelitian kelompok narkoba diambil dari narapidana Lapas Wirogunan Yogyakarta yang terlibat kasus narkoba. Sedangkan subjek kelompok non-narkoba diambil dari mahasiswa Psikologi UAD.
Subyek penelitian kelompok narkoba mempunyai karakteristik sebagai berikut yaitu :
1) Telah menjadi pengguna narkoba minimal 12 bulan
2) Laki-laki dan perempuan
3) Pernah kuliah atau lulus S1
4) Berusia minimal 18 tahun.
Subjek kelompok non-narkoba mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Berpendidikan tinggi
2) Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
3) Berusia minimal 18 tahun
4) Mahasiswa UAD.

HASIL DAN PEBAHASAN

Hasil uji-t menunjukkan tidak ada perbedaan kebermaknaan hidup yang signifikan antara narapidana kasus narkoba (kelompok pengguna) dengan mahasiswa psikologi UAD (kelompok non-pengguna). Mean kelompok narapidana sebesar 100.034, sedangkan mean kelompok mahasiswa sebesar 108.034 dengan p = 0.132. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengapa tidak ada perbedaan kebermaknaan hidup antara narapidana kasus narkoba dengan mahasiswa psikologi UAD.
Menurut Frankl (1977) makna hidup bisa ditemukan dalam penderitaan, tidak hanya dalam kebahagiaan. Pada kasus narapidana di atas, tampaknya mereka bisa mengambil makna positif atas hukuman yang sedang dijalaninya. Seperti Frankl sendiri (dalam Bastaman, 1996) pernah menjalani hidup di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Selama dipenjara di dalam kamp, Frankl mampu menemukan makna hidupnya melalui kegiatan-kegiatan yang terkesan sepele. Di dalam kamp konsentrasi Frankl kemudian mengunakan keahliannya sebagai psikiater untuk menolong para tawanan Nazi yang depresi dan putus asa.
Hal inilah yang kemungkinan terjadi pada narapidana Lapas Wirogunan. Mereka secara umum bisa menemukan makna dalam hidupnya walaupun harus menjalani hidup di balik jeruji besi akibat kesalahannya sendiri. Mereka mampu memaknai kejadian atas dirinya secara positif dan berusaha menghayati hukumannya dengan menjalani kegiatan-kegiatan positif. Di Lapas Wirogunan sendiri, banyak kegiatan positif yang dijalani oleh narapidana. Kegiatan positif tersebut seperti ceramah agama, kursus kerajinan, kegiatan olahraga, bengkel motor dan kegiatan lainnya. Hal inilah yang ikut mempengaruhi skor kebermaknaan hidup kelompok narapidana yang tidak berbeda jauh dengan kelompok mahasiswa psikologi UAD.
Menurut Frankl (1977) ada tiga pilar filosofis yang penting bagi manusia dalam proses pemenuhan kebermaknaan hidup yaitu kebebasan berkehendak (freedom of will), kehendak hidup bermakna (will to meaning), dan makna hidup (meaning of life).
a. Kebebasan berkehendak maksudnya adalah manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take stand) ketika berhadapan dengan berbagai situasi. Kebebasan ini bukan berarti bahwa kita mampu membebaskan diri dari kondisi-kondisi biologis, psikologis atau sosiologis, tetapi manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikapnya terhadap suatu hal. Kebebasan ini juga membuat manusia mampu mengambil jarak bagi dirinya sendiri (self-detachment) dan membuat manusia mampu menentukan apa yang diinginkannya untuk kehidupannya (the self-determining being). Kebebasan ini menuntut manusia untuk mampu mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri, sehingga mencegahnya dari kebebasan yang bersifat kesewenangan.
b. Kehendak hidup bermakna (will to meaning) menurut Frankl (1977) merupakan motivasi utama manusia. Hasrat inilah yang memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Manusia selalu mencari makna-makna dalam setiap kegiatannya, sehingga kehendak untuk hidup bermakna ini selalu mendorong setiap manusia untuk memenuhi makna tersebut. Hasrat ini akan membuat manusia merasa menjadi seseorang yang berharga, mempunyai arti dalam hidupnya.
c. Makna Hidup (meaning of life). Makna hidup ini akan menjadikan manusia mampu memenuhi kebermaknaan hidupnya, tanpa makna hidup manusia akan kehilangan arti dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam makna hidup ini terkandung juga tujuan hidup manusia, sehingga antara keduanya tidak bisa dibedakan.
Makna hidup sendiri mempunyai karakteristik pertama, makna hidup bersifat unik dan personal. Artinya apa yang dianggap penting bagi orang lain, belum tentu akan dianggap penting bagi kita. Kedua, makna hidup juga mempunyai ciri spesifik dan konkrit artinya makna dapat ditemukan ketika kita melihat matahari terbit/terbenam, melihat senyuman bayi mungil, dan bisa pula timbul ketika kita memberikan sedekah kepada peminta-minta.
Makna hidup ini akan memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Makna hidup ini harus dihayati dan dicari sehingga individu sendiri dapat memenuhinya dalam kehidupan anda.
Individu mudah terjebak dalam pemikiran bahwa makna hidup hanya dapat diperoleh melalui pengalaman-pengalaman luar biasa. Namun hal ini merupakan pemikiran yang kurang tepat. Individu bisa memperoleh makna hidup dari hal-hal yang biasa, yang sepele, yang mungkin dia lupakan atau tidak diperhatikannya. Misalnya ketika dia memberikan uang receh kepada peminta-minta buta, dia merasakan perasaan haru, dan merasa telah memberikan sesuatu yang berharga bagi peminta-minta tersebut.
Menurut Frankl (1977) manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : a. kelompok yang masih mencari dan belum menemukan makna hidupnya, sedangkan kelompok kedua b. mereka yang telah menemukan makna hidupnya melalui sistem nilai pribadi masing-masing.
Setiap individu dapat memenuhi makna hidup dengan caranya sendiri. Setiap orang akan berbeda-beda dalam menanggapi kehidupannya, sehingga apa yang dianggap bermakna bagi orang lain belum tentu bermakna bagi diri kita sendiri. Keenam unsur di atas merupakan proses yang integral dan dalam konteks mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna antara satu dengan yang lainnya tak dapat di pisahkan. Nampaknya narapidana di LP Wirogunan bisa mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang positif. Kegiatan positif ini menimbulkan kebermaknaan dalam hidup mereka. Mereka mampu merasakan makna melalui kegiatan sehari-hari selama mendekam di Lembaga Pemasyarakatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada peberdaan kebermaknaan hidup antara narapidana kasus narkoba LP Wiorgunan dengan mahasiswa Psikologi UAD. Hal ini menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup bisa diperoleh dalam keadaan dan situasi hidup apa pun. Semua tergantung dari kemampuan individu untuk mampu memaknai setiap kejadian dalam hidupnya. Selain itu juga tergantung pada kemampuan individu untuk mengisi hidupnya dengan kegiatan-kegiatan positif, sehingga melalui kegiatan positif tersebut individu memperoleh kebermaknaan hidupnya.
Untuk penelitian selanjutnya bisa meneliti tentang kebermaknaan hidup yang dihubungan dengan kegiatan positif, pola pikir positif dan kebermaknaan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 1992. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Sigma Alpha.

Bastaman, Hanna D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina

Davidson, G.C. & Neale, J.M. 1974. Abnormal Psychology an Experimental Clinical Approach. New York : John Wiley & Son Inc.

Douglas, et al. 1980. Broken Family and Child Behavior. J. Roy. Coll Physician London, 4 :203-210. New Direction in Childhood Psychopathology, Vol. 1, International University Press Inc. New York. 323-354.

Frankl, Victor. 1977. Man’s search for Meaning : an Introduction to Logotherapy. London : Hodder & Stoughton.

Gibson, HB et al. 1980. Early Deliquency in Relation to Broken Home. J. Child Psychol. Psychiat, 10 : 195-204, New Direction in Chilhood Psychopathology, Vol 1, International University Press, Inc. New York. 323-353.

Goleman, Daniel. 1995. Kecerdasan Emosi. Terjemahan. Jakarta : Gramedia.

Gossop, Michael. 1994. Drug and Alcohol Problems: Investigation. Dalam Lindsay & Powell (Eds). The Handbook of Clinical Adult Psychology. New York : Routledge.

Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research I-IV. Yogyakarta : Penerbit Andy Offset.

Haditono, S. R. 1989. Permasalahan Remaja di Tingkat SMTA. Makalah. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Hawari, Dadang. 1990. Pendekatan Psikiatri Klinis Pada Penyalahgunaan Zat. Tesis Jakarta : Fakultas Pasca Sarjana UI.

Hawari, Dadang. 1996. Al Qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Penerbit PT Dana bhakti Prima Yasa.

Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.

Idriantoro, Nur. & Supomo, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Akutansi & Manajemen. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE .

Jokosuyono, Y.P. 1980. Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi : Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta : Kanisius.

Poeroe, S.K.U. 1989. Studi Tentang Perbedaan Locus of Control antara Remaja
Narkotika, Nakal dan Biasa di Jakarta Selatan. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.

Poerwandari, E. Kristi. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Rahmat, Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Rutter, M. 1980. Parent-Child Separation, Psychological Effect on The Children. New Direction in Children Psychopatology. Vol 1. New York : International University Press Inc.

Widjaja, A.W. 1986. Manusia Indonesia : Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Pressindo.

Yalom, Irving D. 1980. Existential Psychotherapy. New York : Basic Books Inc.

Yatim, D.I. 1985a. Masalah Penyalahgunaan Obat Informasi Dasar tentang Obat Psikoaktif. Proyek INS/83/006 Depsos-UNDP-Bersama. Proyek Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Penanggulagan Masalah Penyalahgunaan Obat-obatan di Indonesia.

Yatim, D.I. 1985b. Zat Psikoaktif dari Masa ke Masa : Tinjauan Sejarah Terhadap Obat, narkotika, dan Zat-zat Sejenis. Proyek INS/83/006 Depsos-UNDP-Bersama. Proyek Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Penanggulangan Masalah Penyalahgunaan Obat-obatan di Indonesia.

Yin, Robert. K. 1995. Studi Kasus. Metode dan Desain. Terjemahan. Jakarta : RajaGrafindo.

Kedaulatan Rakyat, 19 Maret 2004. Tertangkapnya 5 Mahasiswa Pengguna Narkoba. Yogyakarta.

www. Kompas Cyber Media.com. Jumat. 2 Agustus 2005

Tidak ada komentar: