Sabtu, 11 Agustus 2007

KEMANDIRIAN ANTARA REMAJA YANG IBUNYA BEKERJA DENGAN YANG TIDAK BEKERJA

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. MSi.
Arni Cahyani Nur, S Psi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta


Abstrak

Mandiri atau sering disebut juga berdiri di atas kaki sendiri, merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. kemandirian harus ada dalam diri setiap individu yang dewasa, hal ini terkait dengan kepentingan setiap individu dalam mengarungi kehidupannya dan bagaimana seseorang akan berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Penelitian ini dilakukan paada 76 siswa SMP N 2 Depok Sleman Yogyakarta angkatan 2007/2008, penelitian ini menggunakan skala kemandirian. Data yang diperoleh dianalisa dengan mengunakan teknik analisis uji- t , yaitu merupakan suatu teknik statistik yang berfungsi untuk menguji signifikansi perbedaan rerata antara pasangan kelompok atau perbedaan rerata amatan ulang.t=0,538 dengan p=0,592. karena p>0,05 maka hasilnya tidak signifikan artinya tidak ada perbedaan kemandirian siswa yang ibunya bekerja dan tidak bekerja di SMP N 2 Depok, dengan demikian hipotesis yang diajukan ditolak.


LATAR BELAKANG MASALAH

Mandiri atau sering disebut juga berdiri di atas kaki sendiri, merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Secara umum kemandirian bisa dilihat dari tingkah laku seperti berusaha memenuhi kebutuhan sendiri namun, kemandirian tidak selalu berbentuk fisik yang ditampilkan dalam tingkah laku. Kemandirian juga dapat dilihat dari cara berfikirnya bagaimana seseorang dalam memecahkan suatu masalahnya, apakah seseorang tersebut apat bertanggung jawab atas yang telah dilakukannya, selain itu kemandirian dapat dilihat dari cara penyesuaian dirinya terhadap tuntutan norma dalam masyarakat.
Namun pada kenyataanya tidak semua siswa menyadari dan memiliki kemandirian tersebut. Hal ini terlihat dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap sepuluh siswa di SMP N 2 Depok Sleman pada tanggal 12 Juli 2006. Didapatkan informasi, siswa dapat menentukan arah tindakannya, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri saat tidak ada yang membantu, serta memiliki keinginan bersaing dengan orang lain secara sehat, namun tak sedikit juga yang merasa kurang percaya diri, merasa membutuhkan bantuan dan kurang berani untuk tampil . Hal tersebut menunjukan ketidak mandirian dan peneliti berasumsi bahwa yang menyebabkan tidak berkembangnya kemandirian disebabkan cara pengasuhan ibu yang tidak bekerja. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Lozoff (Dowling,1995) yang menyatakan bahwa anak dengan ibu yang berorientasi karier cenderung mengembangkan berbagai bakat dan minat sejak awal kehidupan mereka.
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa tugas tanpa bantuan, dan tugas tersebut disesuaikan dengan usia serta kemampuan anak (Mu`tadin, 2002). Namun fakta yang ada menunjukan tidak semua orang tua mempercayakan kepada anak untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan.
Saat anak memasuki masa remaja, mereka memasuki tahap persiapan, dimana potensi pemisahan mereka dari peraturan orang tua mulai berkembang. Saat remaja mencapai kemandirian mereka mempunyai perasaan aman, hal ini mendorong remaja untuk bereksplorasi dan memusatkan tenaga pada tugas serta pemecahan masalah, daripada memikirkan diri sendiri (Ausebel dalam Santrock, 2003).
Ketidak mandirian akan membawa dampak yang negatif bagi anak hal tersebut sepertiyang diungkapkan guru bimbingan konseling di SMP N 2 Depok pada tanggal 30 januari 2007 yang mengatakan kemandirian tiap anak berbeda–beda antara satu dengan yang lainnya, kemungkinan yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah cara pengasuhan orang tua, dimana cara pengasuhan anak dengan ibu bekerja berbeda dengan anak yang ibunya bekerja. Menurut guru BK siswa dengan ibu yang bekerja memiliki kemandirian yang lebih menonjol dibanding siswa yang ibunya tidak bekerja, hal tersebut dapat dilihat dari aktifnya siswa dalam kegiatan organisasi sekolah, keberanian siswa dalam menyatakan pendapatnya ketika di kelas dan tingginya inisiatif siswa. hal tersebut berbeda dengan siswa yang ibunya tidak bekerja, mereka lebih malu-malu dalam menyatakan pendapatnya dan kurang berinisiatif ketika dalam suatu kelompok bersama temannya.
Melihat pentingnya kemandirian bagi pengembangan sumber daya manusia dan remaja sebagai generasi penerus maka penelitian ini merumuskan permasalahan yaitu: “Apakah ada perbedaan kemandirian antara remaja yang ibunya bekerja dan tidak bekerja”.


TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang diharapkan pada penelitian ini adalah ingin mengetahui ada tidaknya perbedaan kemandirian antara siswa yang ibunya bekerja dan yang tidak bekerja di SMP N 2 Depok Sleman Yogyakarta.
SUBJEK
Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi kelas satu dan dua SMP N 2 Depok Sleman Yogyakarta. Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Jumlah subjek penelitian sebanyak 76 siswa dan untuk uji coba sebanyak 76 siswa.


PENGAMBILAN DATA

Alat ukur yang digunakan untuk mengungkap variabel kemandirian berupa skala kemandirian yang disusun peneliti berdasarkan ciri-ciri yang diungkapkan oleh Lukman (2000). Jumlah aitem sebelum diuji cobakan berjumlah 60 aitem, terdiri dari empat alternatif jawaban. Analisis data uji coba menghasilkan 32 aitem sahih dan 28 aitem gugur, dengan indeks korelasi aitem dan total bergerak dari 0,2603 - 0,6484 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,8818

ANALISIS DATA

Keseluruhan data akan dianalisis dengan bantuan metode komputasi statistik mengunakan program SPSS for Windows Release 10. Sebelum dilakukan analisis terlebih dahulu perlu dilakukan uji asumsi terhadap data yang telah di kumpulkan. Tujuan dilakukan uji asumsi adalah agar keputusan yang diambil berdasarkan hasil analisis, valid dan reliabel (Hadi, 2000).

1. Hasil uji normalitas sebaran variabel skala kemandirian siswa diperoleh
K-S Z=0,553 dengan p=0,920 (p>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel skala kemandirian mempunyai sebaran normal.

2. Uji homogenitas

Hasil uji homogenitas tes kemandirian siswa diperoleh p=0.804) hal tersebut menunjukkan bahwa variansi skor kemandirian siswa antara kelompok subjek homogen karena p>0,05.

3. Uji Hipotesis

Hasil perhitungan statistik mendapatkan hasil t=0,538 dengan p=0,592 karena p>0,05 maka hasilnya tidak signifikan artinya tidak ada perbedaan kemandirian siswa yang ibunya bekerja dan tidak bekerja di SMP N 2 Depok.


PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil perhitungan statistik perbedaan status pekerjaan ibu terhadap kemandirian anak, dilihat dari dari faktor kemandirian hasil perhitungan statistik mendapatkan hasil t=0,538 dengan p=0,592 karena p>0,05 maka hasilnya tidak signifikan artinya tidak ada perbedaan kemandirian siswa yang ibunya bekerja dan tidak bekerja di SMP N 2 Depok, dengan demikian hipotesis yang diajukan ditolak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kemandirian siswa yang ibunya bekerja dan tidak bekerja di SMP N 2 Depok Yogyakrta. Tidak adanya perbedaan kemandirian antara siswa yang ibunya yang bekerja dan tidak bekerja, hal ini terjadi karena ada dua kemungkinan, yaitu kemungkinan pertama siswa dengan ibu yang bekerja dan siswa yang memiliki ibu yang tidak bekerja tidak berkembang kemandiriannya dengan baik dikarenakan ada faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kemandirian siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Mu`tadin (2002) menyatakan bahwa kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Jadi kemungkinan tidak terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini bukan dipengaruhi oleh status pekerjaan ibunya baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja. Tetapi kemungkinan dikarenakan perlakuan ibu sebagai orang tua terhadap anak, apakah ibu memberikan latihan serta kesempatan kepada anak. Kemungkinan meskipun dengan ibu bekerja namun kurang memberikan latihan dan kesempatan pada anaknya, mungkin di rumahnya memiliki pembantu atau angota keluarga lain misalnya neneknya yang memanjakan anak sehingga kemandirian tersebut tidak dapat berkembang dengan baik.
Anak dengan ibu yang tidak bekerja tidak dapat diasumsikan mendapat keuntungan waktu yang diluangkan untuk mengurus rumah tangga dan keluarga. Ibu yang tidak bekerja mungkin akan berlebihan didalam mencurahkan seluruh energinya kepada anaknya, yang mendorong munculnya kekhawatiran berlebihan dan menghambat kemandirian anak (Santrock, 2002). Sehingga hal tersebut membuat anak juga tidak dapat mengembangkan kemandiriannya dengan baik, dikarenakan banyaknya aturan-aturan dan batasan yang di berikan ibu kepada anak.
Kemungkinan kedua dengan tidak adanya perbedaan kemandirian siswa tersebut dikarenakan siswa yang memiliki ibu yang bekerja maupun tidak bekerja, sama-sama berkembang kemandiriannya dengan baik. Berkembangnya informasi baik melalui media elektronik maupun cetak, yang banyak memuat hasil penelitian ataupun mengenai informasi-informasi yang berkenaan dengan cara mengasuh anak dengan baik akan dapat menambah pengetahua dan wawasan yang dimiliki ibu baik ibu yang bekerja atau ibu yang tidak bekerja. Sehingga dalam mendidik anaknya orang tua khususnya ibu dapat menerapkan hasil informasi yang diperoleh melalui latihan-latihan serta ibu dapat memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mencoba, dan dengan begitu diharapkan anak dapat berkembang kemandiriannya dengan baik, walaupun memiliki ibu yang bekerja atau tidak bekerja.


Kesimpulan

Hasil penelitian yang telah diuraikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kemandirian antara siswa yang ibunya bekerja dan siswa yang ibunya tidak bekerja.

Saran

Untuk peneliti selanjutnya, jika ingin meneliti variabel yang sama diharapkan memperhatikan ketepatan dalam pengambilan subjek penelitian, dan memperhatikan faktor lain yang dapat mempengaruhi kemandirian siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, M & Asrori, M. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta : P.T. Bumi Aksara.

Basri, H. 1996. Remaja Berkualitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Dowling, C. 1995. Tantangan Wanita Modern. Penerjemah : Santi, W.E. Jakarta : Erlangga.

Erza. 2003. Hubungan Antara Minat Mengikuti Kegiatan dan Kemandirian Pada Anggota Madapala. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Hadi, S. 2000. Statistika jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset

Kartono, K. 2002. Psikologi Sosial Untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Lukman, M. 2000. Kemandirian Anak Asuh di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau Dari Konsep Diridan Kompetisi Interpersonal. Jurnal Psikologika. Volume V. Halaman 57-74.

Mosse, J.C. 2002. Gender Pembangunan. Penerjemah : Hartian Silawati. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

Musdalifah. 2005. Perempuan. Jakarta : Arina Publishing.

Mu`tadin, Z. 2002. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologi Pada Remaja. WWW. e-Psikologi. Com. 31 Maret 2006.

Santrock, J.W. 2002. Life Span Development. Penerjemah : Shinto B. Adelar. Jakarta : Erlangga.

Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Edisi ke enam. Penerjemah : Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih. Jakrta : Erlangga.

Selasa, 07 Agustus 2007

Perbedaan Tingkat Kerbermaknaan Hidup antara Narapidana Kasus Narkoba LP Wirogunan dengan Mahasiswa Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup antara Kelompok Pengguna Napza dengan Kelompok Non-pengguna Napza.

Triantoro Safaria
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Kebermaknaan hidup merupakan tujuan yang harus dicapai oleh setiap manusia. Ketidakmampuan manusia dalam mencapai makna dalam hidupnya akan menimbulkan dampak psikologis yang negatif. Diantara dampak tersebut adalah sulit merasakan kebahagiaan, merasa hidupnya hampa dan kosong, depresi bahkan menuju tindakan bunuh diri.
Penelitian ini menguji apakah ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup antara pengguna napza dengan non-pengguna. Subjek penelitian untuk kelompok pengguna napza diambil dari narapidana kasus narkoba LP Wirogunan Yogyakarta, sedangkan kelompok non-pengguna diambil dari mahasiswa Fakultas Psikologi UAD Yogyakarta.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji-t menghasilkan p = 0.132 > 0.05. Mean kelompok pengguna sebesar 100.034 sedangkan kelompok non-pengguna sebesar 108.34, dan A1-A2 = -1.514. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kebermaknaan hidup antara kelompok narapidana pengguna napza dengan kelompok mahasiswa non-pengguna napza.

Kata kunci : Kebermaknaan hidup, Narapidana kasus napza.

PENDAHULUAN

Di Indonesia pada tahun 1980-an hanya terdapat 80.000 sampai 130.000 kasus penyalahgunaan napza, namun pada saat ini telah meningkat menjadi sekitar 5 juta kasus penyalahgunaan napza. Pemerintah melihat semakin berbahayanya persoalan napza ini, kemudian membentuk badan nasional untuk menanggulangi masalah napza ini. Hal ini dikemudian hari mendorong lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk ikut terlibat dalam menanggulangi masalah napza ini seperti Granat, kelompok No-Drugs, dan lain-lain.
Kelompok yang menjadi sasaran napza ini adalah generasi muda yang merupakan calon-calon pemimpin bangsa. Apa jadinya jika generasi muda tidak sibuk untuk meraih prestasi tertinggi, tetapi malah asik penyalahgunaan napza. Di antara generasi muda ini adalah mahasiswa yang sebenarnya merupakan calon intelektual yang akan memajukan pembangunan bangsa.
Beberapa saat yang lalu di Yogyakarta polisi menangkap lima oknum SMA dan mahasiswa yang memakai serta mengedarkan napza (Kedaulatan Rakyat, 19 Maret 2004). Beberapa saat yang lalu juga di Yogyakarta, polisi berhasil menggrebek tempat kost mahasiswa dan menangkap 6 orang oknum mahasiswa yang sedang berpesta napza diantaranya 2 orang siswa SMA. Kejadian ini jelas sangat memalukan dan merusak citra Yogyakarta sebagai kota Budaya dan Pendidikan.
Beja (dalam Budiharto, 2005) memaparkan tentang penyebaran dan peredaran napza di DIY sebagai berikut :
1. Tahun 1999 jumlah perkara yang terungkap 67 kasus dengan julah tersangka 93 orang, 46 diantaranya adalah mahasiswa, 5 pelajar.
2. Tahun 2000 jumlah perkara yang terungkap 162 kasus dengan jumlah tersangka 191 orang, 72 diantaranya mahasiswa, 15 pelajar.
3. Tahun 2001 jumlah perkara yang terungkap 170 kasus dengan jumlah tersangka 199 orang, 50 diantaranya mahasiswa, 24 pelajar.
4. Tahun 2002 jumlah perkara yang terungkap 186 kasus dengan jumlah tersangka 208 orang, 92 diantaranya mahasiswa, 14 pelajar.
5. Tahun 2003 jumlah perkara yang terungkap 207 kasus dengan jumlah tersangka 245 orang, 118 diantaranya mahasiswa, 9 pelajar.
6. Bulan Januari s/d Maret 2004 jumlah perkara yang sudah terungkap sebanyak 48 kasus dengan jumlah tersangka 54 orang, 21 diantaranya mahasiswa/pelajar.

Resiko terhadap HIV/AIDS juga mengancam para pecandu narkoba. Penggunaan narkoba dengan cara suntikan berisiko untuk menularkan penyakit karena biasanya jarum suntik digunakan secara bersama. Selain itu, jarum yang tidak steril dapat mengakibatkan berbagai kuman penyakit masuk tubuh dan menimbulkan infeksi di katup jantung, paru-paru, atau organ tubuh lainnya. Data sementara menunjukkan, 25 persen pengguna narkoba tertular HIV, dan 75-90 persen tertular Hepatitis B dan C. Sebanyak lima persen mengalami gangguan kejiwaan atau skizofrenia dan harus menjadi pasien rumah sakit jiwa (Kompas Cyber Media, 2002).
Krisis makna hidup diduga juga ikut mendorong para remaja menggunakan narkoba. Keadaan hidup yang kosong dan hampa menyebabkan munculnya perasaan sepi dan bosan. Hal ini mendorong mereka mencari jalan pintas untuk mengatasinya. Melalui penggunaan narkoba mereka berusaha untuk memperoleh hidup yang bebas dari kecemasan, kekosongan dan kehampaan. Keadaan di atas ditegaskan oleh Frankl (1977; dalam Koeswara, 1992; Bastaman, 1996) sebagai frustasi eksistensialism (existensialism frustation) yang semakin meningkat. Peningkatan frustasi eksistensial ini menimbulkan dampak negatif. Gejala-gejala yang tampak dari adanya frustasi eksistensial adalah meningkatnya bunuh diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, depresi, stres, psikpatologi, kekerasan dan kejahatan.
Penelitian psikologis menunjukkan bahwa makna hidup sangat penting bagi keseimbangan fisik dan emosional. Studi Sheffied dan Pearson mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara kecenderungan neurotik dan introversi sosial yang diungkap melalui tes Eysenk Personality Inventory dengan rendahnya skor tes PIL (Purpose in Life test) yang mengungkapkan kebermaknaan hidup (dalam Yalom, 1980). Salle dan Casciani melaporkan semakin tinggi taraf frustasi dan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara seksual para subjek, semkain rendah skor PIL yang diperolehnya. Hasil studi Braun dan Dolmino menunjukkan skor tes PIL remaja deliquent lebih rendah dari remaja non-deliquent (dalam Yalom, 1980).
Hawari (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi apakah seseorang akan terlibat penyalahgunaan napza ini yaitu faktor predisposisi, faktor kontribusi, dan faktor pencetus. Variabel-variabel yang masuk di dalam faktor predisposisi ini diantaranya kepribadian individu seperti kecemasan, depresi, atau adanya gangguan kepribadian antisosial. Variabel-variabel yang masuk dalam faktor kontribusi diantaranya adalah kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua dan hubungan interpersonal di dalam keluarga itu sendiri. Variabel-variabel yang masuk di dalam faktor pencetus diantaranya pengaruh teman sebaya, peer groups dan kemudahan memperoleh napza itu sendiri.
Faktor predisposisi lain yang ikut bertanggungjawab atas penyalahgunaan napza adalah adanya kecemasan dan depresi pada individu (Gossop, 1994). Semakin tinggi tingkat depresi dan kecemasan yang dialami individu, maka akan semakin besar resikonya untuk terlibat penyalahgunaan napza. Remaja-remaja yang kehilangan tujuan hidup dan kebermaknaan hidup mudah sekali mengalami kecemasan dan depresi. Hal ini mendorong mereka terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Mereka mencari kebahagiaan melalui narkoba, walaupun kebahagiaan itu semu adanya.
Pertanyaannya adalah mengapa banyak oknum mahasiswa yang terlibat kasus penyalahgunaan napza ini. Bagaimana mungkin mahasiswa-mahasiswa ini yang sebenarnya mampu berpikir rasional terlibat dalam kasus napza. Faktor-faktor apa saja yang mendorong dan mencegah mereka terlibat dalam penyalahgunaan napza. Seandainya faktor-faktor pendorong dan pencegah ini dapat diketahui, maka kemungkinan penanganan kasus Napza ini akan lebih terarah, sistematis dan efektif.
Penelitian ini sendiri mencoba untuk melihat peranan kebermaknaan hidup dalam mencegah penyalahgunaan napza di kalangan pencandu narkoba dan non-pecandu. Diasumsikan jika tingkat kebermaknaan hidup individu tinggi maka individu kemungkinan akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap godaan mengunakan napza. Dari penjelasan-penjelasan di atas jelaslah bahwa tingkat kebermaknaan hidup kemungkinannya merupakan faktor yang memperkuat individu untuk tidak tergoda dalam penyalahgunaan napza. Penelitian ini kemudian berfokus untuk mencari perbedaan antara tingkat kebermaknaan hidup pada kelompok pengguna napza dan kelompok non-pengguna di kalangan mahasiswa.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyalahgunaan Narkoba

Untuk lebih memperjelas fokus penelitian ini maka perlu dikemukakan berbagai macam konsep seputar penyalahgunaan napza. Banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah diseputar penyalahgunaan napza ini, dan dibawah ini akan dijelaskan secara umum.
Obat (drugs) adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi tubuh atau pikiran (Thornberg, 1962). WHO (dalam Haryanto, 1989) memberikan batasan tentang obat sebagai setiap zat (bahan subtansi) yang jika masuk ke dalam organisme hidup akan mengadakan perubahan pada satu atau lebih fungsi-fungsi organisme tersebut.
Penyalahgunaan obat (drug abuse) adalah pemakaian obat secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau dipergunakan tanpa mengikuti aturan takaran/dosis yang sebenarnya (Haryanto, 1989). Penyalahgunaan obat ini dicirikan sebagai pola penggunaan zat secara patologis, hendaya dalam fungsi sosial dan pekerjaan serta telah mengunakannya dalam periode lebih dari tiga bulan.
Narkotika adalah sejenis obat-obatan yang tergolong dalam jenis psikotropika yaitu obat-obatan yang jika dipakai dapat mempengaruhi perasaan, persepsi dan kesadaran individu (Poeroe, 1989). Narkotika berasal dari bahasa Yunani narkoun yang berarti membuat lumpuh, membuat mati rasa atau bisa juga dikatakan dari bahasa Yunani lainnya yaitu narkotikos yang artinya keadaan tanpa sensasi (Jokosuyono, 1980; Poeroe, 1989).
Pada saat ini istilah narkotika dipakai sebagai sinonim untuk obat-obat terlarang, khususnya opium yang berasal dari getah buah poppy (papayer somniverum). Di Indonesia istilah narkotika atau napza disinonimkan dengan drug yaitu semua zat yang jika masuk/dimasukkan kedalam tubuh akan mempengaruhi fungsi tubuh (Soejdono, 1970).
Menurut undang-undang narkotika Republik Indonesia Nomor 9/1976 jenis narkotika digolongkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
1. Kelompok opiat atau candu (papaper Somniverum)
2. Kelompok ganja (Cannabis sativa)
3. Kelompok koka (erythrolon coca).
Adapun jenis narkotika dan obat yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut (Haryanto, 1989; Davidson & Neale, 1974) yaitu :
1. Kelompok penenang syaraf yaitu :
a. Alkohol
b. Transkuiliser :
-Transkuiliser mayor, misalnya largactil, leponex, serenase,
dan stelasine.
-Transkuiliser minor, misalnya activan, lexotan, sedatin,
dan valium.
c. Sedative (hipnotikum) : barbiturat, misalnya dumolid, mogadon, rohypnol.
d. Narkotika (opiat) : candu, morfin, heroin.
2. Kelompok perangsang syaraf misalnya amphetamin, kokain, dan kafein.
3. Kelompok halusinogen misalnya LSD, jamur, kecubung dan pala.
4. Kelompok cannabis misalnya ganja, haisis, dan mariyuana.
5. Kelompok inhalansia misalnya jenis lem uhu, aseton, minyak cat, bensin, karbol,
dan eter.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa alasan remaja (mahasiswa) menyalahgunakan napza sangatlah bervariasi. Mengapa demikian, remaja masih dalam fase transisi menuju masa dewasa, berjuang untuk mencapai kebutuhan akan pengakuan, pencarian identitas, dan masih memiliki kelabilan emosi (Yatim, 1985). Bahkan beberapa dari mereka terjertumus dalam penyalahgunaan napza lebih banyak disebabkan oleh rasa ingin tahu dan perilaku coba-coba. (Haditono, 1989).
Alasan-alasan lain kenapa banyak remaja atau khususnya mahasiswa menyalahgunakan napza misalnya, adanya rasa ingin tahu, tekanan teman sebaya, menentang orang tua, pelarian dari masalah, memberontak terhadap otoritas masyarakat ( Monks, dkk 1987). Menurut Hilman (1985) dan Haryanto (1989) ada beberapa ciri kepribadian yang beresiko tinggi untuk menyalahgunakan napza, anatara lain mudah kecewa, tidak sabaran, sifat suka memberontak, suka mengambil resiko, mudah bosan atau jenuh, dan kebanyakan memiliki tingkat religiusitas yang rendah, serta memiliki harga-diri yang rendah.
Penyalahgunaan narkoba secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu pertama, ketergantungan primer yang ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada individu dengan kepribadian yang tidak stabil. Kedua, ketergantungan simtomatis yaitu penyalahgunaan narkoba sebagai salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya. Pada umunya terjadi pada individu dengan kepribadian antisosial. Ketiga, ketergantungan reaktif yaitu terutama terdapat pada para remaja karena dorongan rasa ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok sebayanya sehingga menyebabkannya menjadi pengguna narkoba.

B. Tingkat Kebermaknaan Hidup

Kebermaknaan hidup didefiniskan sebagai keadaan penghayatan hidup yang penuh makna yang membuat individu merasakan hidupnya lebih bahagia, lebih berharga, dan memiliki tujuan yang mulia untuk dipenuhinya (Frankl, 1977; Koeswara, 1992; Bastaman, 1996). Individu yang mencapai kebermaknaan hidup akan merasakan hidupnya penuh makna, berharga dan memiliki tujuan mulia, sehingga inividu terbebas dari perasaan hampa dan kosong.
Menurut Frankl (1977) gejala-gejala dari orang yang kehilangan makna hidupnya, ditunjukkan dengan perasaan hampa, merasa hidup tak berarti, merasa tak memiliki tujuan hidup yang jelas, adanya kebosanan dan apatis. Gejala-gejala ini merupakan akibat tidak terpenuhinya sumber makna hidup dalam diri manusia. Penghayatan hidup tanpa makna bisa saja tidak tampak secara nyata, tetapi terselubung di balik berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure), termasuk di dalamnya mencari kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya (the will to money).
Jika keadaan hidup tanpa makna ini terjadi pada diri individu secara berlarut-larut, maka akan memunculkan gangguan psikis, atau simptom yang dinamakan sebagai neurosis noogenik (Frankl, 1977; Koeswara,1992; Bastaman, 1996). Gangguan ini dapat anda pahami dengan menyadari gejala-gejalanya seperti timbulnya keluhan-keluhan bosan, perasaan hampa, dan penuh keputusasaan. Individu juga akan kehilangan minat terhadap kegiatan yang sebelumnya menarik bagi anda, hilangnya inisiatif, merasa hidup tidak ada artinya, menjalani hidup seperti tanpa tujuan. Keadaan ini selintas seperti gangguan depresif, tetapi pengobatan dengan anti-depresan tidak mampu menghapusnya.
Berlawanan dengan penghayatan hidup tak bermakna, orang yang telah terpenuhi kebermaknaan dalam hidupnya akan menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa. Mereka memaknai kehidupannya dalam tujuan-tujuan yang harus dicapai, sehingga menyebabkan kegiatan mereka menjadi lebih terarah.
Kebutuhan untuk hidup bermakna mendorong individu untuk mencari dan
memenuhinya. Ketika individu berhasil memenuhinya, maka hidup bermakna akan dicapainya. Hasil dari adanya kehidupan yang bermakna ini akan memunculkan kebahagiaan. Sebaliknya jika individu tidak berhasil memenuhi kebutuhan makna hidup ini, maka individu akan menjalkani ketidakbermaknaan hidup. Akibatnya individu akan mengalami kehampaan eksistensial. Adanya kehampaan eksistensial ini akan memunculkan gangguan neurosis noogenik.

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian dan Pengumpulan data

Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data yang bersifat kuantitatif dengan mengunakan metode statistik. Analisis data yang digunakan adalah Uji-t. Data diolah mengunakan program statistik SPS (Sutrisno & Yuni Pamardiningsih, 2000).
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala PIL (Purpose in Life Test) yang diadaptasi dari Frankl (dalam Koeswara, 1992). Skala ini sebagai alat ukur penelitian, sebelum digunakan akan diuji validitas dan reliabilitasnya. Tujuannya adalah agar alat yang digunakan dalam penelitian ini akurat dan dapat dipercaya (Azwar, 1992). Hasil uji kesahihan butir menunjukkan dari 60 butir, 40 butir gugur dan 20 butir sahih. Dengan rbt bergerak antara 0.444 - 0.614. Hasil uji reliabilitas mengunakan alpha Cronbach menghasilkan rtt = 0.885.
Metode wawancara mendalam digunakan untuk mengumpulkan pengalaman dan penghayatan hidup subjek penelitian secara verbal. Digunakan untuk memahami pengalaman penghayatan hidup subjek berkaitan dengan makna hidup dan kebermaknaan hidup. Analisis yang digunakan adalah analisis isi dari pernyataan verbal subjek penelitian. Melalui analisis isi ini akan dianalisis pengalaman-pengalaman fenomenologis yang diungkapkan subjek melalui wawancara mendalam (Yin, 1995; Poerwandari, 1998; Moloeng, 1995).
Subyek dalam penelitian kelompok narkoba diambil dari narapidana Lapas Wirogunan Yogyakarta yang terlibat kasus narkoba. Sedangkan subjek kelompok non-narkoba diambil dari mahasiswa Psikologi UAD.
Subyek penelitian kelompok narkoba mempunyai karakteristik sebagai berikut yaitu :
1) Telah menjadi pengguna narkoba minimal 12 bulan
2) Laki-laki dan perempuan
3) Pernah kuliah atau lulus S1
4) Berusia minimal 18 tahun.
Subjek kelompok non-narkoba mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) Berpendidikan tinggi
2) Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
3) Berusia minimal 18 tahun
4) Mahasiswa UAD.

HASIL DAN PEBAHASAN

Hasil uji-t menunjukkan tidak ada perbedaan kebermaknaan hidup yang signifikan antara narapidana kasus narkoba (kelompok pengguna) dengan mahasiswa psikologi UAD (kelompok non-pengguna). Mean kelompok narapidana sebesar 100.034, sedangkan mean kelompok mahasiswa sebesar 108.034 dengan p = 0.132. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengapa tidak ada perbedaan kebermaknaan hidup antara narapidana kasus narkoba dengan mahasiswa psikologi UAD.
Menurut Frankl (1977) makna hidup bisa ditemukan dalam penderitaan, tidak hanya dalam kebahagiaan. Pada kasus narapidana di atas, tampaknya mereka bisa mengambil makna positif atas hukuman yang sedang dijalaninya. Seperti Frankl sendiri (dalam Bastaman, 1996) pernah menjalani hidup di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Selama dipenjara di dalam kamp, Frankl mampu menemukan makna hidupnya melalui kegiatan-kegiatan yang terkesan sepele. Di dalam kamp konsentrasi Frankl kemudian mengunakan keahliannya sebagai psikiater untuk menolong para tawanan Nazi yang depresi dan putus asa.
Hal inilah yang kemungkinan terjadi pada narapidana Lapas Wirogunan. Mereka secara umum bisa menemukan makna dalam hidupnya walaupun harus menjalani hidup di balik jeruji besi akibat kesalahannya sendiri. Mereka mampu memaknai kejadian atas dirinya secara positif dan berusaha menghayati hukumannya dengan menjalani kegiatan-kegiatan positif. Di Lapas Wirogunan sendiri, banyak kegiatan positif yang dijalani oleh narapidana. Kegiatan positif tersebut seperti ceramah agama, kursus kerajinan, kegiatan olahraga, bengkel motor dan kegiatan lainnya. Hal inilah yang ikut mempengaruhi skor kebermaknaan hidup kelompok narapidana yang tidak berbeda jauh dengan kelompok mahasiswa psikologi UAD.
Menurut Frankl (1977) ada tiga pilar filosofis yang penting bagi manusia dalam proses pemenuhan kebermaknaan hidup yaitu kebebasan berkehendak (freedom of will), kehendak hidup bermakna (will to meaning), dan makna hidup (meaning of life).
a. Kebebasan berkehendak maksudnya adalah manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take stand) ketika berhadapan dengan berbagai situasi. Kebebasan ini bukan berarti bahwa kita mampu membebaskan diri dari kondisi-kondisi biologis, psikologis atau sosiologis, tetapi manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikapnya terhadap suatu hal. Kebebasan ini juga membuat manusia mampu mengambil jarak bagi dirinya sendiri (self-detachment) dan membuat manusia mampu menentukan apa yang diinginkannya untuk kehidupannya (the self-determining being). Kebebasan ini menuntut manusia untuk mampu mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri, sehingga mencegahnya dari kebebasan yang bersifat kesewenangan.
b. Kehendak hidup bermakna (will to meaning) menurut Frankl (1977) merupakan motivasi utama manusia. Hasrat inilah yang memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Manusia selalu mencari makna-makna dalam setiap kegiatannya, sehingga kehendak untuk hidup bermakna ini selalu mendorong setiap manusia untuk memenuhi makna tersebut. Hasrat ini akan membuat manusia merasa menjadi seseorang yang berharga, mempunyai arti dalam hidupnya.
c. Makna Hidup (meaning of life). Makna hidup ini akan menjadikan manusia mampu memenuhi kebermaknaan hidupnya, tanpa makna hidup manusia akan kehilangan arti dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam makna hidup ini terkandung juga tujuan hidup manusia, sehingga antara keduanya tidak bisa dibedakan.
Makna hidup sendiri mempunyai karakteristik pertama, makna hidup bersifat unik dan personal. Artinya apa yang dianggap penting bagi orang lain, belum tentu akan dianggap penting bagi kita. Kedua, makna hidup juga mempunyai ciri spesifik dan konkrit artinya makna dapat ditemukan ketika kita melihat matahari terbit/terbenam, melihat senyuman bayi mungil, dan bisa pula timbul ketika kita memberikan sedekah kepada peminta-minta.
Makna hidup ini akan memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehingga makna hidup seakan-akan menantang (challenging) dan mengundang (inviting) seseorang untuk memenuhinya. Makna hidup ini harus dihayati dan dicari sehingga individu sendiri dapat memenuhinya dalam kehidupan anda.
Individu mudah terjebak dalam pemikiran bahwa makna hidup hanya dapat diperoleh melalui pengalaman-pengalaman luar biasa. Namun hal ini merupakan pemikiran yang kurang tepat. Individu bisa memperoleh makna hidup dari hal-hal yang biasa, yang sepele, yang mungkin dia lupakan atau tidak diperhatikannya. Misalnya ketika dia memberikan uang receh kepada peminta-minta buta, dia merasakan perasaan haru, dan merasa telah memberikan sesuatu yang berharga bagi peminta-minta tersebut.
Menurut Frankl (1977) manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : a. kelompok yang masih mencari dan belum menemukan makna hidupnya, sedangkan kelompok kedua b. mereka yang telah menemukan makna hidupnya melalui sistem nilai pribadi masing-masing.
Setiap individu dapat memenuhi makna hidup dengan caranya sendiri. Setiap orang akan berbeda-beda dalam menanggapi kehidupannya, sehingga apa yang dianggap bermakna bagi orang lain belum tentu bermakna bagi diri kita sendiri. Keenam unsur di atas merupakan proses yang integral dan dalam konteks mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna antara satu dengan yang lainnya tak dapat di pisahkan. Nampaknya narapidana di LP Wirogunan bisa mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang positif. Kegiatan positif ini menimbulkan kebermaknaan dalam hidup mereka. Mereka mampu merasakan makna melalui kegiatan sehari-hari selama mendekam di Lembaga Pemasyarakatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada peberdaan kebermaknaan hidup antara narapidana kasus narkoba LP Wiorgunan dengan mahasiswa Psikologi UAD. Hal ini menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup bisa diperoleh dalam keadaan dan situasi hidup apa pun. Semua tergantung dari kemampuan individu untuk mampu memaknai setiap kejadian dalam hidupnya. Selain itu juga tergantung pada kemampuan individu untuk mengisi hidupnya dengan kegiatan-kegiatan positif, sehingga melalui kegiatan positif tersebut individu memperoleh kebermaknaan hidupnya.
Untuk penelitian selanjutnya bisa meneliti tentang kebermaknaan hidup yang dihubungan dengan kegiatan positif, pola pikir positif dan kebermaknaan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 1992. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Sigma Alpha.

Bastaman, Hanna D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina

Davidson, G.C. & Neale, J.M. 1974. Abnormal Psychology an Experimental Clinical Approach. New York : John Wiley & Son Inc.

Douglas, et al. 1980. Broken Family and Child Behavior. J. Roy. Coll Physician London, 4 :203-210. New Direction in Childhood Psychopathology, Vol. 1, International University Press Inc. New York. 323-354.

Frankl, Victor. 1977. Man’s search for Meaning : an Introduction to Logotherapy. London : Hodder & Stoughton.

Gibson, HB et al. 1980. Early Deliquency in Relation to Broken Home. J. Child Psychol. Psychiat, 10 : 195-204, New Direction in Chilhood Psychopathology, Vol 1, International University Press, Inc. New York. 323-353.

Goleman, Daniel. 1995. Kecerdasan Emosi. Terjemahan. Jakarta : Gramedia.

Gossop, Michael. 1994. Drug and Alcohol Problems: Investigation. Dalam Lindsay & Powell (Eds). The Handbook of Clinical Adult Psychology. New York : Routledge.

Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research I-IV. Yogyakarta : Penerbit Andy Offset.

Haditono, S. R. 1989. Permasalahan Remaja di Tingkat SMTA. Makalah. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Hawari, Dadang. 1990. Pendekatan Psikiatri Klinis Pada Penyalahgunaan Zat. Tesis Jakarta : Fakultas Pasca Sarjana UI.

Hawari, Dadang. 1996. Al Qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Penerbit PT Dana bhakti Prima Yasa.

Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.

Idriantoro, Nur. & Supomo, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis : Untuk Akutansi & Manajemen. Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE .

Jokosuyono, Y.P. 1980. Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Koeswara, E. 1992. Logoterapi : Psikoterapi Viktor Frankl. Yogyakarta : Kanisius.

Poeroe, S.K.U. 1989. Studi Tentang Perbedaan Locus of Control antara Remaja
Narkotika, Nakal dan Biasa di Jakarta Selatan. Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM.

Poerwandari, E. Kristi. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi UI.

Rahmat, Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Rutter, M. 1980. Parent-Child Separation, Psychological Effect on The Children. New Direction in Children Psychopatology. Vol 1. New York : International University Press Inc.

Widjaja, A.W. 1986. Manusia Indonesia : Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Pressindo.

Yalom, Irving D. 1980. Existential Psychotherapy. New York : Basic Books Inc.

Yatim, D.I. 1985a. Masalah Penyalahgunaan Obat Informasi Dasar tentang Obat Psikoaktif. Proyek INS/83/006 Depsos-UNDP-Bersama. Proyek Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Penanggulagan Masalah Penyalahgunaan Obat-obatan di Indonesia.

Yatim, D.I. 1985b. Zat Psikoaktif dari Masa ke Masa : Tinjauan Sejarah Terhadap Obat, narkotika, dan Zat-zat Sejenis. Proyek INS/83/006 Depsos-UNDP-Bersama. Proyek Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Penanggulangan Masalah Penyalahgunaan Obat-obatan di Indonesia.

Yin, Robert. K. 1995. Studi Kasus. Metode dan Desain. Terjemahan. Jakarta : RajaGrafindo.

Kedaulatan Rakyat, 19 Maret 2004. Tertangkapnya 5 Mahasiswa Pengguna Narkoba. Yogyakarta.

www. Kompas Cyber Media.com. Jumat. 2 Agustus 2005

Regulasi emosi, Need of achievemnt, dan self-esteem antara perempuan dan laki-laki

egulasi Emosi, Need of Achievement, dan Harga-diri Ditinjau
dari Jenis Kelamin

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. MSi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Banyak aspek yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan itu merupakan hal yang wajar adanya. Terkadang banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda-beda terkait dengan perbedaan aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa perlu dilakukan penelitian untuk mencari perbedaan aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki. Salah satu alasan mendasar adalah agar bisa ditetapkan model perlakuan yang tepat berdasar jenis kelamin sehingga melalui perlakuan yang tepat tersebut diharapkan akan lebih memacu pengembangan potensi diri anak perempuan dan laki-laki secara optimal. Alasan kedua adalah untuk menghapuskan bias gender akibat kesimpulan hipotesis akan perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari perbedaan regulasi-emosi, motivasi berprestasi dan harga diri ditinjau dari jenis kelamin. Subyek penelitian adalah mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Dua puluh satu mahasiswi dan dua puluh mahasiswa. Analisis data mengunakan teknik multivariat analisis dan diolah melalui program spss 10.0 for windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan yang signifikan hanya terbukti pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dengan perempuan. Ditunjukkan melalui nilai Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda. Hotteling’s trace, Roy’s largest root dengan F = 635.921, p = 0.000, dan test of between-subject effects dengan nilai F = 746.328 p = 0,000. Sedangkan regulasi emosi dan harga-diri secara individual tidak berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan (test of between subject-effects dari regulasi emosi dengan nilai F= 2.710 p = 0.108 dan harga-diri dengan nilai F= 0.972 p = 0.330). Mean motivasi berprestasi (n-Ach) mahasiswi ternyata lebih kecil dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa yaitu 31,1 < 95.16. Kesimpulan sementara yang dapat diambil dari penelitian ini adalah selain terdapat perbedaan dalam aspek psikologis antara laki-laki dan perempuan, ternyata terdapat pula kesamaan relatif antara keduanya.

LATAR BELAKANG MASALAH

Banyak penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda-beda tentang perbedaan aspek psikologis antara remaja perempuan dan laki-laki. Ada yang menghipotesiskan perbedaan dan ada pula yang menghipotesiskan persamaan (Kostink & Fouts, 2002; Hyde, 2005). Tentu saja hasil yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa ada kesimpulan yang belum final. Tetapi kebanyakan ahli psikologi memandang dan lebih condong pada pendapat bahwa memang ada perbedaan yang jelas dalam aspek psikologis antara perempuan dan laki-laki (Hyde, 2005).
Pendapat yang mengatakan bahwa memang ada perbedaan secara psikologis (psychological gender differences) menimbulkan bias gender yang berdampak negatif terhadap kaum perempuan. Dampak ini memasuki banyak wilayah seperti pekerjaan, pola asuh dan hubungan sosial. Sebagai contoh Gilligan (Hyde, 2005) berpendapat bahwa perempuan lebih cenderung berbicara tentang aspek kasih sayang (women as caring and nurturant), sedangkan laki-laki lebih banyak berbicara tentang aspek keadilan (justice). Tetapi ide Gilligan (Hyde, 2005) ini kemudian menjadi sangat mempengaruhi budaya masyarakat Amerika. Akibatnya muncul stereotipe di masyarakat Amerika yang mengatakan bahwa perempuan memiliki kemampuan memberi kasih sayang dan pengasuhan, sedangkan laki-laki sebaliknya kurang dalam kemampuan memberikan kasih sayang dan pengasuhan. Hal ini kemudian menyebabkan kaum laki-laki mempercayai bahwa mereka tidak bisa memberikan kasih sayang dan mengasuh anak-anaknya, walaupun seandainya mereka menjadi seorang ayah kelak.
Dampak negatif bagi perempuan yang digambarkan lebih penuh kasih sayang dibandingkan laki-laki ini di dunia kerja juga merugikan. Perempuan yang dinilai kompetitif dan melawan stereotipe penuh kasih sayang (caring) cenderung mendapatkan penilaian negatif dari atasannya, sedangkan laki-laki yang kompetitif dianggap sebagai sebuah kewajaran (Hyde,2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hyde (2005) dengan pendekatan meta-analisis menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan yang besar terjadi pada aspek kekuatan otot dalam melempar (d = 1.98), kebiasaan masturbasi (d = 0.96), sikap terhadap perilaku seks bebas (d = 0.81) dan tindakan agresif secara fisik ( d = 0.59). Penelitian yang dilakukan oleh penulis diantaranya bertujuan untuk mengurangi bias gender terutama pada aspek psikologis yang ditujukan pada kaum perempuan. Penelitian ini ingin melihat apakah ada perbedaan regulasi emosi, harga diri dan motivasi berprestasi antara mahasiswa perempuan dan laki-laki.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Harga Diri

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa harga diri berperan penting dalam individu. Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab.
Harga-diri mencakup aspek evaluasi terhadap diri sendiri, sejauhmana kita menilai diri kita secara positif/baik dan negatif/buruk. Harga-diri bisa dikatakan sebagai seberapa jauh kita menilai dan menghargai keseluruhan diri kita sendiri. Harga-diri sendiri biasanya terbagi dalam beberapa dimensi atau aspek seperti keterampilan kognitif, keterampilan fisik, atau keterampilan sosial. Harga diri berkembang bersamaan dengan pengalaman-pengalaman kita dari hasil interaksi dengan lingkungan sosial. Sebagai contoh, jika kita di masa lalu banyak meraih prestasi yang dibanggakan, maka pengalaman ini akan menjadi dasar bagai pengembangan harga-diri kita yang positif. Harga-diri yang positif dibentuk oleh prestasi-prestasi yang pernah kita peroleh di masa lalu, sehingga semakin banyak prestasi yang kita peroleh maka akan semakin positif harga-diri kita (Mussen dkk, 1994).
Sebaliknya, pengalaman kegagalan di masa lalu akan menjadi penyebab terbentuk harga-diri yang negatif. harga diri merupakan hasil dari prestasi-prestasi kita di masa lalu, sehingga karenanya penting bagi kita untuk meraih prestasi-prestasi yang bagi kita sendiri membanggakan agar harga-diri kita lebih positif.
Menurut Fleming & Courtney (1984) harga-diri terbentuk dari tiga faktor psikososial dan dua faktor fisik. Tiga faktor psikososial tersebut adalah penghargaan-diri (self-regard), kepercayaan-sosial (social-confidence), dan kemampuan/prestasi sekolah (school ability). Dua faktor fisik yaitu penampilan (appearance) dan kemampuan (ability).
Rosen dkk (1982) menjelaskan bahwa orang-orang dengan harga-diri yang rendah ternyata mengalami lebih banyak kesulitan ketika menghadapi masalah atau hambatan. Mereka menunjukkan dan memiliki strategi coping yang rendah serta kompetensi yang rendah pula. Menurut Rosen dkk (1982) kesulitan ini terjadi karena adanya dua jenis persepsi-diri negatif dasar yaitu pertama, orang-orang dengan harga diri rendah memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi ketika menghadapi ancaman/masalah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki harga-diri tinggi. Kedua, orang-orang dengan harga diri yang rendah menganggap diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang kurang memiliki keterampilan yang adekuat/baik untuk menangani suatu masalah. Akibatnya mereka kurang tertarik untuk mengambil langkah-langkah preventif dan memiliki kepercayaan fatalistik yang lebih banyak sehingga mereka menyakini bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun juga untuk mencegah terjadinya masalah yang buruk dalam hidup mereka. Keyakinan mereka akan kemampuannya dalam memecahkan masalah rendah, sehingga mereka cenderung menarik diri atau lari dari masalah, bukan menghadapinya dengan bertanggungjawab.
Harga diri merupakan sebagai penilaian diri yang dilakukan oleh seseorang individu dan biasanya berkaitan dengan diri sendiri. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukan beberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga (Coopersmits, 1967).
Seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan memiliki tindakan serta pemikiran yang positif, memiliki perasaan percaya diri, kreatif, yakin pada diri sendiri, dan berani. Harga diri merupakan bagian dari kepribadian yang akan mempengaruhi tingkah laku individu. Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman individu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Coopersmith (1967), bahwa harga diri hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu. Contoh salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap harga diri ditunjukkan oleh Krimmel (dalam Koentjoro,1989), yang menyimpulkan pendapat dari para ahli dan menyatakan bahwa wanita mempunyai harga diri dan kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding laki-laki. Apakah pendapat ini betul adanya, tentu saja kita perlu mengujinya secara empirik.
Coopersmith (1967) menjelaskan hal-hal yang dapat menaikkan harga diri seseorang adalah dengan keberhasilan yang diperoleh selama dirinya berinteraksi dengan lingkungan. Keberhasilan itu sendiri antara lain: a. Power, kemampuan untuk mempengaruhi atau menguasai orang lain; b. Virtue, kesesuaian diri dan kecemasan dalam mengemukakan tentang dirinya; c. Significance, penerimaan perhatian dari keluarga; d. Competence, kesuksesan dan perasaan katidakpuasan.
Beberapa pendapat mengemukakan bahwa harga diri seseorang akan berbeda antara individu satu dengan individu yang lain, sehingga muncul penggolongan, yaitu individu yang punya harga diri tinggi dan harga diri yang rendah. Individu yang mempunyai harga diri tinggi akan memiliki perasaan yang positif, namun individu dengan harga diri yang rendah akan memiliki perasaan yang kurang positif.

2. Motivasi Berprestasi

Kebutuhan berprestasi merupakan salah satu motif yang berperan penting pada remaja. Kebutuhan berprestasi yang tinggi akan mendorong remaja untuk berfokus pada pencapaian prestasi. Remaja yang memiliki motivasi berprestasi tinggi ketika menghadapi masalah akan melakukan tindakan-tindakan yang positif untuk memecahkan masalahnya. Mereka cenderung memilih cara-cara konstruktif dan menghindari kompensasi negatif ketika menghadapi suatu masalah (Wenar & Kering, 2000).
Motif berprestasi ini ditandai dengan dorongan dari individu untuk memperoleh kesuksesaan yang maksimal, menyukai tantangan pekerjaan, ingin menghasilkan prestasi yang tinggi dan semangat bersaing untuk menjadi yang terbaik. McClelland meneliti motif ini melalui sebuah tes yang dinamakan TAT (The Tematic Apperception Test) yaitu sebuah tes psikologi yang berisi gambar-gambar manusia yang sedang beraktivitas di dalam berbagai setting dan kondisi. Sebagai contoh gambar seorang pria yang sedang duduk dimeja kerjanya, didepannya ada lembaran kertas, di mejanya ada foto keluarganya, dan gambar ini bisa menimbulkan interpretasi ganda dengan melihat bahwa laki-laki itu seperti menatap foto keluarganya dan seperti berkonsentrasi pada pekerjaannya (McClelland. 1985).
Menurut McClelland, motif berprestasi ini harus dikembangkan dan ditumbuhkan pada anggota organisasi, untuk menjamin kemajuan organisasi itu sendiri. Motif ini bisa ditingkatkan melalui pelatihan yang dirancangnya dengan para koleganya yang biasa disebut sebagai AMT (Achievement Motivation Training). Menurut McClelland, ada empat ciri utama dari individu-individu yang memiliki n Ach tinggi yaitu :
a. Mereka-mereka ini lebih memilih tugas-tugas yang menantang dengan resiko yang sedang (moderate risk taking). Individu dengan n Ach yang tinggi ini lebih memilih tugas-tugas yang mengandung resiko sedang, artinya mereka secara hati-hati mengkalkulasikan berapa persen tingkat kegagalannya dan berapa persen tingkat kesuksesaanya. Jika tingkat kegagalannya lebih besar, maka mereka berusaha untuk tidak menerima tugas tersebut. Mereka ini memiliki sikap yang realistis sekaligus pragmatis ketika berusaha mencapai dan memenuhi tujuan prestasinya.
b. Membutuhkan umpan balik yang segera (need for immediate feedback). Individu dengan n Ach yang tinggi lebih menyukai tugas-tugas yang memberikan umpan balik segera dan spesifik, sehingga mereka bisa mengukur kemajuan setiap tindakannya menuju tujuan. Pekerjaan yang disukai mereka seperti marketing yang menyediakan secara cepat hasil dari usahanya dengan kriteria yang jelas dan objektif yaitu angka penjualan produk.
c. Kepuasaan secara instrinsik dari penyelesaiaan tugas (satisfaction with accomplishments). Individu dengan n Ach tinggi lebih puas akan penyelesaian tugas secara instrinsik dari pada kepuasan ekstrinsik seperti uang. Mereka ini tidak berorientasi pada hadiah ekstrinsik seperti uang, dan hanya menganggap uang/bonus hanya sebagai ukuran atas prestasi kerja mereka, dan bukan tujuan utamanya (McClelland. 1985).
McClelland (1985) juga menegaskan bahwa kemajuan suatu bangsa di tentukan oleh seberapa besar motivasi berprestasi dimilki oleh sebagain besar masyarakatnya. Semakin banyak suatu bang memiliki orang-orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, maka akan semakin maju bangsa tersebut. Sebut saja misalnya Bangsa Jepang, Inggris, Amerika, dan Prancis yang merupakan negara-negara maju dan memiliki pengaruh bagi negara-negara lainnya. Di bawah ini dijelaskan juga beberapa motif-motif yang penting.

3. Regulasi Emosi

Thompson (1994) mendefinisikan regulasi-emosi sebagai kemampuan untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional individu untuk mencapai tujuan individu tersebut. Indikator dari regulasi emosi adalah sebagai berikut :
1. Kemampuan memonitor (emotions monitoring) yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latarbelakang dari tindakannya. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lainnya, yang berarti kesadaran-diri ini akan membantu tercapainya aspek-aspek yang lain. Arti lainnya adalah individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul.
2. Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions evaluating) yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangakan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengruh secara mendalam, sehingga mengakibatkannya tidak mampu lagi berpikir rasional. Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci, dia kemudian mampu menerima perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha menolaknya dan kemudian berusaha menyeimbangkan emosi tersebut secara konstruktif. Misalnya melihat peristiwa yang menimbulkan kekecewaan dan kebencian dari sudut pandang yang lebih positif, mengambil hikmah di balik masalah tersebut atau mencoba untuk memaafkan diri sendiri atau orang lain yang terlibat dalam masalah tersebut. Akibatnya dia mampu meredakan kekecewaannya dan kebenciannya tersebut, sehingga tidak berlarut-larut terombang-ambing dalam kekecewaan dan kebencian.
3. Kemampuan memodifikasi (emotions modifications) yaitu kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian tupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah. Kemampuan ini kemudian membuat individu mampu menumbuhkan optimisme dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar, tidak pernah mudah putus asa dan kehilangan harapan.
Salah satu faktor predisposisi yang ikut berrtanggungjawab atas penyalahgunaan napza adalah adanya kecemasan dan depresi pada individu (Gossop, 1994). Semakin tinggi tingkat depresi dan kecemasan yang dialami individu, maka akan semakin besar resikonya untuk terlibat penyalahgunaan napza. Kemampuan regulasi-emosi atau keterampilan mengelola emosi menjadi penting bagi individu untuk dapat efektif dalam melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorongnya mengalami kecemasan dan depresi. Individu yang mampu mengelola emosi-emosinya sebagai efektif, akan lebih memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi (Thompson, 1995;Goleman, 1995).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaif dengan melakukan perbandingan (comparatif studies) antara beberapa variabel dari dua kelompok yang berbeda. Untuk menguji data digunakan multivariat analisis karena membandingkan lebih dari satu variabel tergantung secara bersama-sama (Ghozali, 2005). Analisis data menggunakan program SPSS 15.0 for windows.
Jumlah total subyek penelitian sebanyak 41 orang mahasiswa psikologi Univeristas Ahmad Dahlan Yogyakarta semester IV. Terdiri dari 21 mahasiswa perempuan dan 20 mahasiswa laki-laki.
Data diambil menggunakan skala regulasi emosi, skala motivasi berprestasi dan skala harga-diri yang dibuat sendiri oleh penulis berdasarkan beberapa teori yang ada. Skala penelitian ini digunakan setelah diuji reliabilitas dan validitasnya. Skala harga-diri memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.813, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.245 – 0.556. Skala regulasi-emosi memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.823, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.234 – 0.600. Skala motivasi berprestasi memiliki reliabilitas cronbach alpha = 0.813, dengan validitas korelasi aitem-total bergerak antara 0.260 – 0.593.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan regulasi-emosi, harga-diri dan motivasi berprestasi. Kemudian perbedaan yang signifikan hanya terbukti pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dengan perempuan. Ditunjukkan melalui nilai Pillai’s Trace, Wilks’ Lambda. Hotteling’s trace, Roy’s largest root dengan F = 635.921, p = 0.000, dan test of between-subject effects dengan nilai F = 746.328 p = 0,000. Sedangkan regulasi emosi dan harga-diri secara individual tidak berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan (test of between subject-effects) dari regulasi emosi dengan nilai F= 2.710 p = 0.108 dan harga-diri dengan nilai F= 0.972 p = 0.330). Mean motivasi berprestasi (n-Ach) mahasiswi ternyata lebih kecil dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa yaitu 31,1 < 95.16.
Hasil diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan hanya terdapat pada motivasi berprestasi antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada regulasi-emosi dan harga-diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Hyde (2005) terutama pada konstruk harga-diri yang menghasilkan besaran efek yang kecil (small effect 0.11 < d < 0.35). Artinya harga diri antara perempuan dan laki-laki tidak berbeda jauh. Artinya baik perempuan maupun laki-laki memiliki tingkat harga diri yang relatif sama. Berkaitan dengan regulasi-emosi, hasil penelitian ini mematahkan asumsi stereotipe bias gender yang mengatakan bahwa perempuan lebih emosional, lebih mementingkan perasaan atau tidak mampu meregulasi emosinya. Sehingga kesimpulan sementaranya adalah kemampuan meregulasi emosi antara perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda dan relatif sama.
Bagaimana motivasi berprestasi bisa berbeda antara mahasiswa laki-laki dan perempuan pada penelitian ini?. Beberapa hasil penelitian yang ada menunjukkan hasil yang bervariasi. Ada penelitian yang menunjukkan perbedaan motivasi berprestasi, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh apa yang dilakukan Teglasi (2005) dalam sebuah penelitian eksperimentalnya menemukan bahwa perempuan yang memiliki peran feminis tradisional ternyata lebih rendah skor motivasi berprestasinya dibandingkan dengan perempuan yang memiliki peran feminis non tradisional. Hasil penelitian Teglasi (2005) ini mungkin bisa menjelaskan bagaimana penelitian ini menunjukkan tingkat motivasi berprestasi yang berbeda. Motivasi berpretasi mahasiswa perempuan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki. Ada kemungkinan mahasiswa perempuan yang menjadi subyek penelitian ini memiliki peran gender feminis tradisional. Akibatnya ada nilai-nilai tradisional yang dibebankan pada perempuan ini, justru menghambat ekspresi dari motivasi berprestasinya. Nilai-nilai tradisional tersebut seperti lebih menekankan pada nilai keibuan, tidak boleh menunjukkan sikap kompetitif yang berlebihan, nilai kepatuhan pada suami, perempuan harus berperan pasif, tidak boleh menampakkan ambisi dan nilai yang mengharuskan perempuan ketika dewasa hanya menjadi istri di rumah. Nilai-nilai inilah yang kemungkinannya mempengaruhi subyek mahasiswi perempuan untuk tidak terlalu berambisi mencapai prestasi setinggi mungkin dalam hidupnya. Akibatnya skor motivasi berprestasi mereka menjadi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa perempuan.
Bandingkan dengan penelitian Chusmir (1985) yang meneliti tentang motif berprestasi, afiliasi dan kekuasaan dengan subyek berjumlah 124 manager yang terbagi menjadi 62 manager laki-laki dan 62 manager wanita menemukan bahwa manager perempuan ternyata lebih tinggi skor motivasi berprestasinya dibandingkan dengan manager laki-laki. Sedang motif afiliasi dan powernya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Penelitian Chusmir (1985) diatas menunjukkan hasil yang sebaliknya bahwa manager perempuan ternyata lebih tinggi motivasi berprestasinya dibandingkan dengan manager laki-laki.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian ini hanya menunjukkan adanya perbedaan tingkat motivasi berprestasi antara mahasiswa perempuan dengan laki-laki. Mean motivasi berprestasi mahasiswa perempuan lebih rendah dibandingkan dengan mean motivasi berprestasi mahasiswa laki-laki (Mean = 31,1 < 95.16). Untuk itu perlu mendorong mahasiswa perempuan untuk lebih meningkatkan motif berprestasinya melalui pelatihan-pelatihan pengembangan motivasi berpestasi.

Daftar Pustaka

Chusmir,H. Leonard.1985. Motivation of Managers: Is Gender a Factor ?.Psychology of Women Quarterly. Volume 9 Issue 1 Page 153Issue 1 - 159

Coopersmith. 1967. The Antacedens as Self Esteem. USA: W.H. Freeman and Company.

Fleming, , J.S, & Courtney, B.E. 1984. The Dimensionality of Self-esteem : Hirarchical facet model for revised measurement scales. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 404-421.

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi ketiga. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Goleman, Daniel. 1995. Kecerdasan Emosi. Terjemahan. Jakarta : Gramedia.

Gossop, Michael. 1994. Drug and Alcohol Problems: Investigation. Dalam Lindsay & Powell (Eds). The Handbook of Clinical Adult Psychology. New York : Routledge.

Ghozali, AM & Fuad. 2005. Struktural Equotions Modelling : Teori & Praktek. Semarang : Penerbit Undip.

Hyde, Shibley. Janet. 2005. The Gender Similarities Hypothesis. American Psychologist. September. Vol 6, No 6, 581-592.

Kartono, K. 1995. Psikologi Anak. Psikologi Perkembangan. Bandung: Mandar maju.

Kostiuk, M Lynne & Fouts, T Gregory. 2002. Understanding of Emotions and Emotion Regulation in Adolescent Females with Conduct Problems : A Qualitatif Analysis. The Qualitative Report. Vol 7, Number 1.

McClelland, D. 1985. Achievemnet Motivations Trainning.

Mussen, P.H, Conger, J.J., kagan, J., Huston, A.C. 1984. Perkembangan dan Kepribadian Anak. Cetakan II. Jakarta : Penerbit Arcan.

Riepe, M.S. 2001. Effects of Education Level and Gender on Achievement Motivation2002-07 Psi Chi, The National Honor Society in Psychology

Teglasi, Hedwig. 2005. Sex-role orientation, achievement motivation, and causal attributions of college females. Sex roles. Volume 4, Number 3 .

Thompson, G. 1994. Emotion Regulation: Theory & Reseach. USA : Jhon Wiley &
Sons.

Safaria, Triantoro. 2007. Perbedaan Tingkat religisuitas, Harga-diri, Regulasi-emosi dan Motivasi berprestasi antara siswa SMA perempuan dengan siswa SMA laki-laki. Laporan penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.

Kematangan Emosi dan Kecenderungan POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER Pasca Tsunami pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 MESJID RAYA Aceh Besar

KEMATANGAN EMOSI DAN KECENDERUNGAN POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER PASCA TSUNAMI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) 1 MESJID RAYA ACEH BESAR

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. MSi
Erda Farni, S Psi.
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Psikologi

SMK 1 Mesjid Raya yang terletak 200 meter dari bibir pantai merupakan salah satu sekolah di NAD yang terkena gempa dan tsunami. Hasil wawancara penulis dengan kepala sekolah didapatkan data bahwa jumlah siswa yang semula berjumlah 300 orang sebelum bencana terjadi, hanya tersisa kurang lebih 100 orang dan 50% guru di sekolah ini juga dinyatakan meninggal dan hilang. SMK 1 Mesjid Raya sempat dijadikan tempat mengungsi warga sekitar karena sekolah ini merupakan salah satu bangunan yang masih berdiri dibandingkan bangunan lain yang sudah rata dengan tanah Gejala-gejala post-traumatic stress disorder terjadi pada siswa SMK 1 Mesjid Raya yang mengalami langsung peristiwa gempa dan tsunami. Gejala-gejala yang mereka alami antara lain ketakutan jika hujan turun, tidak mau mandi karena takut air, sering termenung dan diam, mudah terkejut, enggan bergaul dengan teman bahkan cenderung menarik diri dari lingkungan. Gejala semakin terlihat karena anak-anak Aceh terbiasa memendam masalah dan tidak terbiasa mengkomunikasikan masalah-masalah yang dihadapi dengan orang tua sehingga ketika musibah yang menimbulkan trauma berat seperti tsunami hanya dihadapi sendiri.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994), terdapat tiga kelompok simptom post-traumatic stress disorder. Instrusive Re-experiencing, yaitu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Avoidance, yaitu selalu menghindar dari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Subyek penelitian berjumlah 82 orang siswa-siswi SMK 1 Masjid Raya. Penelitian ini ingin menguji apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan PTSD pada siswa-siswi SMK N 1 Masjid Raya Banda Aceh. Data diuji melalui rumus statistik korelasi product moment pearson.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kematangan emosi dan kecenderungan post-traumatic stress disorder pada siswa SMK 1 Mesjid Raya. Hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari analisis data sebesar -0,608. Melihat perhitungan tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan post-traumatic stress disorder, begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi pula kecenderungan post-traumatic stress disorder. Kematangan emosi memiliki peranan sebesar 36 % terhadap kecenderungan PTSD.
Saran untuk sekolah adalah segera memberikan bimbingan atau pun pelatihan pengelolaan emosi, terutama bagi siswa-siswi yang rendah tingkat kematangan emosinya dan juga tinggi skor kecenderungan PTSD-nya.


Kata Kunci : Kematngan emosi, Tsunami Aceh, dan Kecenderungan Post-traumatic
stress disorder.

Latar belakang masalah

Tsunami di Aceh sudah dua tahun berlalu, tetapi kenyataan yang ada menunjukkan masih terdapatnya korban tsunami yang mengalami trauma. Simptom PTSD terkadang baru muncul setelah tiga bulan bahkan satu tahun setelah peristiwa traumatik dialami oleh individu. Biasanya gangguan trauma ini muncul dalam bentuk lain seperti gangguan tidur, depresi, stres dan kecemasan. Hasil survey yang ada menunjukkan bahwa 20% individu yang mengalami persitiwa traumatik akan mengalami gangguan stres pasca trauma ini (Van Etten & Taylor, 1998). Banyak juga diantaranya yang sangat tertekan (distres) oleh pengalaman traumatiknya, akibat tidak mendapatkan penanganan psikologis yang semestinya, sehingga menghambat keberfungsian hidup mereka sehari-hari (Kessler, et al, 1995).
Individu yang mengalami langsung bencana tsunami akan mengalami stres berkepanjangan. Dalam menjalani hidup keseharian, mereka memunculkan gejala pengalaman traumatik yang berupa ketakutan, keputusasaan, ketidakberdayaan, sering terbayang kembali peristiwa traumatik, hingga perilaku menghindar dari ingatan traumatik (Giaconia, et al. 1995).
Perilaku menghindar dari ingatan traumatik memang sangatlah irrasional, namun bagi mereka yang mengalami peristiwa secara langsung, situasi tersebut memang harus dihindari. Lazimnya para korban bencana alam, akan menghindari segala sesuatu yang disangka akan membawa kembali ingatan peristiwa traumatik itu ke dalam jiwanya. Pada sisi ini, remaja Aceh yang mengalami tsunami 26 Desember juga menunjukkan efek traumatik yang mendalam (Kendall & Hammen, 1998).
Trauma bukan hanya sebagai gejala psikis yang bersifat individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan individual tentang peristiwa yang mereka alami dan mengguncangkan jiwa mereka. Setiap kondisi trauma yang dialami individu dapat mencetuskan satu gangguan psikologis. Apabila gangguan tersebut terjadi dalam waktu sebelum sebulan disebut dengan gangguan stres akut, sedangkan gangguan yang terjadi sesudah sebulan disebut stres pasca trauma (Terr, 1988).
Gangguan PTSD dapat berwujud kecemasan, depresi, atau gangguan jiwa yang berat (psikotik). Sementara perwujudan gangguan psikologis pada PTSD sering kali berupa gejala kecemasan, depresi, tingkah laku impulsif, dan mudah marah serta tersinggung. Gejala lainnya berupa hambatan daya ingat, sulit berkonsentrasi, emosi yang labil, sakit kepala, dan vertigo.
Perilaku yang ditampilkan individu tersebut dapat berupa sikap berusaha menghindar secara persisten terhadap kejadian yang mirip tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu dibayang-bayangi mimpi tentang peristiwa yang menakutkan dan terjadi secara berulang-ulang, sehingga mereka mengalami gangguan di saat tidurnya. Bukan hanya itu, individu yang mengalami situasi tersebut tatkala terjaga juga kerap merasakan seolah-olah kejadian traumatis itu kembali terjadi di hadapannya. Mereka begitu peka terhadap lingkungannya secara berlebihan (cenderung curiga, paranoid), serta memiliki kewaspadaan berlebihan. Untuk itulah gangguan PTSD ini perlu untuk segera ditangani secara tepat dan adekuat.
Menurut Witkin (2005) dibutuhkan kepribadian yang stabil untuk menghadapi suatu stressor. Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Mönk, dkk (1996) menjelaskan bahwa kematangan emosi ditandai dengan kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita terhadap orang lain.
Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi membantu remaja sehingga dapat mengatasi trauma agar tidak mengalami kecemasan berkepanjangan. Remaja yang tidak memiliki kematangan emosi akan menampakkan ketidakmampuan mengendalikan emosi setelah peristiwa sehingga memiliki kecenderungan post-traumatic stress disorder yang lebih tinggi. Ketidakmatangan emosi remaja menyebabkan mereka semakin larut dalam kesedihan bahkan cenderung menarik diri, malas beraktivitas dan lebih agresif yang mengakibatkan kestabilan emosi dan hubungan sosial terganggu.

Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau melihat hubungan antara kematangan emosi dengan kecenderungan post-traumatic stress disorder pasca tsunami pada siswa SMK I Aceh Besar.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder

Menurut Kendall dan Hammer (1998) stres dapat terjadi pada individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.
Pengalaman traumatik merupakan pemicu stres yang potensial untuk terjadinya gangguan stres. Trauma dapat disebabkan oleh suatu pengalaman seperti perampokan, kasus kekerasan, kebakaran, kecelakaan atau bencana alam. Boulware (2001) mendefinisikan kecenderungan post-traumatic stress disorder sebagai tinggi rendahnya kemungkinan seseorang untuk mengalami gangguan stres yang diakibatkan oleh pengalaman traumatik yang dialami. Stres yang berkelanjutan inilah yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder. Kecenderungan Post-traumatic stress disorder adalah kecenderungan individu untuk mengalami gangguan akibat peristiwa traumatis yang dialami setelah tiga bulan peristiwa.
Kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah perubahan neurohormonal dalam tubuh sehingga mengganggu perasaan emosional. Faktor eksternal yang mempengaruhi kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah peristiwa yang membuat traumatik sebagai stresor pemicu (Boulware, 2001).
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994), terdapat tiga kelompok simptom post-traumatic stress disorder, yaitu :
1. Instrusive Re-experiencing, yaitu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Gejala-gejalanya antara lain peristiwa berulang-ulang muncul dan mengganggu perasaan, peristiwa muncul kembali dalam mimpi muncul gangguan psikologis ketika menyaksikan sesuatu yang mengingatkan pada peristiwa traumatik dan terjadi reaktivitas fisik seperti menggigil, jantung berdebar keras atau panik ketika bertemu dengan sesuatu yang mengingatkan pada peristiwa.
2. Avoidance, yaitu selalu menghindar dari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Gejala-gejalanya antara lain berusaha menghindar dari situasi, pikiran atau aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa traumatik, kurang perhatian terhadap kegiatan sehari-hari, merasa terpisah dari orang lain dan muncul perasaan menyerah pada masa depan, termasuk tidak mempunyai harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak atau hidup normal.
3. Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Gejala-gejalanya antara lain adalah mengalami gangguan tidur atau bertahan untuk selalu tidur, mudah marah dan meledak-ledak, sulit konsentrasi, gugup dan mudah terkejut.
Pada individu yang mempunyai kecenderungan post-traumatic stress disorder akan terlihat kombinasi sejumlah gejala spesifik dari ketiga kelompok simptom di atas, dan muncul tiga bulan setelah peristiwa traumatik terjadi (DSM-IV, 1994).

B. Kematangan Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emotus atau emover yang berarti mencerca atau menggerakkan (to stir up) yaitu sesuatu yang mendorong terhadap dalam diri individu. Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Emosi merupakan salah satu respon fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk bertindak dalam usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsang yang ada di sekitarnya.
Menurut Green (2001), kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu. Mönk, dkk (1996) menilai kematangan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menyelesaikan problem-problem pribadi tanpa adanya keselarasan antara gangguan perasaan dan ketidakmampuan menyelesaikan masalah, kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain terhadap keinginan-keinginan individu sesuai dengan harapan masyarakat dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat sehubungan dengan pengertian kita terhadap orang lain.
Mahmud (1996) menyatakan bahwa kematangan emosi memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Tidak “meledakkan” emosi dihadapan orang lain, melainkan mampu mengekspresikan emosi pada saat yang lebih tepat dan wajar dalam mengungkapkan emosinya sehingga lebih dapat diterima.
b. Dapat melihat situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang, mengabaikan rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.
c. Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.
Young (dalam Herina, 1991) mengemukakan dampak-dampak kematangan emosi terhadap ketahanan mental, yaitu :
1. Mampu menahan tekanan emosi, karena kematangan emosi membuat individu dapat menyeleksi tempat dan waktu yang tepat untuk mengungkapkan tekanan emosinya dalam bentuk yang wajar dan dapat diterima oleh orang lain
2. Mampu merespon stimulus, karena kematangan emosi memaksa individu untuk belajar mengabaikan beberapa stimulus yang sebelumnya dapat membangkitkan emosi dan merespon khusus terhadap stimulus yang lebih serius secara alamiah. Individu yang tidak memiliki kematangan emosi menjadi lebih mudah marah terhadap hal-hal sepele dan perasaannya mudah terluka
3. Mampu menggunakan fungsi kritis mental, karena dengan kematangan emosi individu dapat menilai secara kritis sebelum memberikan reaksi emosional. Individu yang memiliki kematangan emosi tinggi apabila mengalami pengalaman traumatik akan lebih mudah menerima kenyataan.

Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi membantu remaja sehingga dapat mengatasi trauma agar tidak mengalami kecemasan berkepanjangan. Remaja yang tidak memiliki kematangan emosi akan menampakkan ketidakmampuan mengendalikan emosi setelah peristiwa sehingga memiliki kecenderungan post-traumatic stress disorder yang lebih tinggi. Ketidakmatangan emosi remaja menyebabkan mereka semakin larut dalam kesedihan bahkan cenderung menarik diri, malas beraktivitas dan lebih agresif yang mengakibatkan kestabilan emosi dan hubungan sosial terganggu.

METODE PENELITIAN

A. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMK 1 Mesjid Raya Aceh Besar, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Mengalami sendiri gempa dan tsunami 26 Desember 2004
b. Tercatat sebagai siswa/i SMK 1 Mesjid Raya Aceh Besar pada tahun ajaran 2005/2006

B. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu :
1. Skala Kematangan Emosi
Skala kematangan emosi yang disusun oleh penulis merupakan modifikasi dari skala kematangan emosi yang pernah dibuat oleh Satriana (2004) berdasar teori Mahmud (1996). Modifikasi dilakukan dengan merubah beberapa kalimat dan penambahan aitem dari 30 aitem menjadi 50 aitem yang telah disesuaikan berdasarkan tujuan penelitian.
Memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati lain seperti dalam periode sebelumnya.
2. Skala Kecenderungan Post Traumatic Stress Disorder
Kecenderungan post traumatic stress disorder akan diukur dengan menggunakan skala kecenderungan post traumatic stress disorder milik Himawan (2004). Penulis melakukan modifikasi berupa perubahan kalimat dan penambahan aitem dari 37 aitem menjadi 50 aitem. Skala kecenderungan post traumatic stress disorder disusun berdasarkan gejala yang terdapat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV, 1994).

C. Validitas dan Reliabilitas
Suatu alat ukur dikatakan representatif, fungsional dan akurat apabila alat tersebut memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi (Azwar, 2004). Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment dari Pearson. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas item skala adalah pendekatan konsistensi internal dengan tehnik analisis Alpha Cronbach. Pengujian validitas dan reliabilitas skala kematangan emosi dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder akan dilakukan dengan dengan memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows.

D. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah product moment. Keseluruhan komputasi data dilakukan dengan menggunakan fasilitas komputer dengan memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows yang merupakan salah satu dari perangkat lunak untuk mengolah data statistik.

HASIL PENELITIAN

A. Orientasi Kancah

SMK 1 Mesjid Raya terletak 200 m dari bibir pantai tepatnya di Jalan Laksamana Malahayati Km 15 Telp/Fax (0651) 21506 Neuheun Aceh Besar. Kerusakan fisik bangunan sekolah yang hancur mencapai 50% namun saat ini telah dibangun kembali dengan bantuan NGO asal Italia. Jumlah siswa sebelum tsunami terjadi sebanyak 300 orang dan saat ini hanya tersisa 82 orang yang terbagi dalam sembilan kelas.

B. Hasil Uji coba

Data-data uji coba selanjutnya dianalisis dengan bantuan komputer memanfaatkan program aplikasi statistik SPSS versi 10.0 for windows. Analisis ini menggunakan teknik korelasi yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas skala yang digunakan.
1. Validitas alat ukur
Uji validitas dengan taraf signifikansi 5% terhadap 50 item kematangan emosi menghasilkan 46 item valid dan empat item gugur. Sedangkan pada skala kecenderungan post-traumatic stress disorder menghasilkan 47 item valid dan tiga item gugur dengan taraf signifikansi 5%.
2. Reliabilitas alat ukur
Hasil analisis reliabilitas skala kematangan emosi didapat koefisien alpha (rtt) sebesar 0,9676 dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder dihasilkan koefisien alpha (rtt) sebesar 0,9703.

C. Hasil Penelitian

1. Uji Normalitas Sebaran
Hasil perhitungan dari skala kematangan emosi diperoleh nilai K-SZ sebesar 0,100 dengan signifikansinya 0,077. Pada skala kecenderungan post-traumatic stress disorder diperoleh nilai K-SZ sebesar 0,104 dengan signifikansinya sebesar 0,058. Terlihat bahwa pada masing-masing skala p > 0,05 yang berarti sebarannya mengikuti kurve normal.
2. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas pada skala kematangan emosi dan skala kecenderungan post-traumatic stress disorder diperoleh nilai F = 39,819 dan p = 0,941 (p>0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel membentuk suatu garis lurus atau linear.
3. Uji Hipotesa
Hasil uji korelasi dan regresi variabel kematangan emosi dengan variabel post-traumatic stress disorder adalah -0,608 dan nilai p<0,01, sehingga hipotesis diterima.

C. Pembahasan

Hasil koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari analisis data sebesar -0,608. Melihat perhitungan tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kematangan emosi maka semakin rendah kecenderungan post-traumatic stress disorder, begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka semakin tinggi pula kecenderungan post-traumatic stress disorder. Adanya hubungan antara kematangan emosi dan kecenderungan post-traumatic stress disorder sesuai dengan pendapat Wiryasaputra (2006) yang menyatakan bahwa kematangan emosi merupakan hal yang penting bagi individu khususnya remaja. Apabila remaja mempunyai tingkat kematangan emosi yang tinggi, maka remaja akan mampu mengendalikan tingkat kecenderungan post-traumatic stress disorder pasca bencana.
Korelasi yang diperoleh sangat signifikan karena p = 0,000, artinya p < 0,01 atau dapat dikatakan bahwa kematangan emosi memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengurangi tingkat kecenderungan post-traumatic stress disorder. Koefisien Determinasi (r2) = 0,369 menjelaskan bahwa kematangan emosi memberikan sumbangan terhadap kecenderungan post-traumatic stress disorder sebesar 36 persen, artinya dengan kematangan emosi dapat mengurangi kecenderungan post-traumatic stress disorder sebesar 36 persen. Sedangkan 64 persen lainnya dipengaruhi oleh sumbangan variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Tingkat kematangan emosi siswa SMK 1 Mesjid Raya tergolong sedang yaitu 54,29 persen. Menurut Witkin (2005) dibutuhkan kepribadian yang stabil untuk menghadapi suatu stressor. Salah satu tolok ukur kepribadian yang baik adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan semakin stabil pula kepribadiannya dan pengendalian emosi merupakan kuncinya.
Kecenderungan post traumatic stress disorder siswa tergolong tinggi yaitu sebesar 45,72 persen. Menurut Smet (1994) post-traumatic stress disorder merupakan reaksi berkepanjangan dari stres yang dialami individu. Kecenderungan post traumatic stress disorder yang terjadi pada siswa SMK 1 Mesjid Raya setelah bencana gempa dan tsunami disebabkan oleh ketegangan yang secara terus menerus dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, hingga berkembang menjadi situasi mental yang mengganggu. Trauma tsunami dimaknai oleh siswa sebagai ancaman hidup sehingga ketika gempa susulan yang terjadi sering dijadikan alasan untuk menghindar dari kewajiban sebagai pelajar, yaitu belajar dan pergi ke sekolah.
Kematangan emosi merupakan hal yang penting bagi individu khususnya bagi remaja. Remaja yang memiliki kematangan emosi akan mempunyai kekuatan untuk keluar dari masalah, misalkan melawan trauma psikis setelah tsunami sehingga kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder lebih rendah. Kematangan emosi dapat membantu remaja untuk mengatasi trauma sehingga tidak mengalami stres berkepanjangan karena matang secara emosional tidak hanya mampu mengontrol emosi, tapi dapat menerima dan menyadari arti rasa takut yang timbul apabila menghadapi hal-hal menakutkan tanpa berpura-pura memakai topeng keberanian.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kecenderungan post-traumatic stress disorder.
2. Kematangan emosi memberikan sumbangan efektif sebesar 36 persen terhadap kecenderungan post-traumatic stress disorder.

B. Saran

Kepada pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang paling sering berinteraksi dengan siswa, diharapkan dapat memberikan pelatihan yang untuk mengembangkan kematangan emosi pada siswanya. Hal ini karena hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kecenderungan PTSD. Pelatihan yang dimaksud terutama bagi siswa yang tinggi kecenderungan PTSD-nya dan siswa yang rendah tingkat kematangan emosinya.

DAFTAR PUSTAKA

American Psyciatric Association, 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fouth Edition. Washington DC.

Azwar, S. 1997. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.

Boulware, E. 2001. Do I Have Anxiety. www.sidran.com.

Green, C.D. 2001, Classics in the History of Psychology. Jurnal, Bina Nusantara University, diakses di http://www.BiNusCareer.com/ 30-01-2006.

Herina, 1991. Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Prestasi Atlet. Skripsi Tidak diterbitkan. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.

Himawan, A.T., 2004. Hubungan antara Emotion-Focused Coping dengan Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder pada Karyawan Kantor Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UAD.

Kendall, P.C., and Hammem, C., 1998. Abnormal Psychology, Human Problems Understanding. New York : Houghton Mifflin Company

Mahmud, M.D., 1996. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi I. Yogyakarta : BPFE.

Maulana, A., 2003. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder pada Korban Kerusuhan Ambon. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang : Fakultas Psikologi UNDIP.

Mönks, R.J, Knoers, A.M.P, dan Haditono, S.R. (1996). Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Satriana, Y., 2004. Hubungan Sikap Keberagamaan dengan Kematangan Emosi pada Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang : Fakultas Psikologi UNDIP.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Witkin, G., 2005. Agar Badai Cepat Berlalu. Mengatasi Trauma Akibat Bencana-Besar maupun Kecil-Mulai Hari Pertama Hingga Setahun setelah Bencana. Bandung : Penerbit Kaifa.

Wiryasaputra, 2006 Pelayanan Psikologis Paska Bencana Traumatik (PPPBT) Post-Traumatic Disaster Psychological Services di akses di www.google.com, 21 April 2006

Impact of Event Scale

Impact of Event Scale (IES) : Skala Pengukuran PTSD

Triantoro Safaria, S Psi. Psi. Msi.
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Abstrak

Sebelum terapi diberikan pada klien, terlebih dahulu terapis perlu melakukan asesmen. Salah satu tujuannya adalah untuk lebih memahami kondisi dari klien, sehingga dapat ditetapkan penangganan yang tepat sesuai dengan kondisi klien tersebut. Proses terapi yang dilakukan secara serampanganan seringkali justru menimbulkan dampak yang negatif bagi klien.
Untuk itu dibutuhkan alat asesmen yang praktis, tidak menyita waktu, dan mudah dilaksanakan. Impact of event scale (IES) adalah sebuah skala untuk mengukur distres subyektif setelah individu mengalami peristiwa yang traumatis. Bisa juga dikatakan IES bertujuan untuk mengukur tingkat post-traumatic stress disorder yang dialami individu.
IES berisi pernyataan yang harus dipilih oleh klien berdasarkan tingkat frekuensinya. Jadi IES merupakan skala bertipe self-report. IES diciptakan oleh Horowits, Wilner dan Alvarez (1979) dan sudah diujicobakan untuk mencari reliabilitas dan validitasnya. IES berisi 15 item yang mengevaluasi pengalaman subkategori dari PTSD yaitu avoidance dan intrusion. Reliabilitas alpha dari intrusion = 0.79 dan avoidance = 0.86. IES juga menunjukkan kemampuannya dalam membedakan antara kelompok yang mengalami trauma dengan kelompok yang tidak mengalami trauma (Brier, 1997).

A. PENDAHULUAN

Pada dekade belakangan ini tindak kekerasan di masyarakat meningkat dengan pesat. Konflik di Poso yang belum juga mereda, sampai kekerasan di dalam rumah tangga. Pada tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 meliputi kekerasan fisik dan psikologis, sedangkan 80 % pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban. Laporan yang dibuat oleh Yayasan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research & Developmnet Universitas Gadjah Mada tentang child abuse yang terjadi sepanjang tahun 1992-2002 di 7 kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3.969 kasus, dengan rincian seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Kekerasan Selama Tahun 1992-2002
di Kota Besar Indonesia

No Jenis Kekerasan Persentase
1 Emotional Abuse 6.3 %
2 Child neglected 8.3 %
3 Physical abuse 19.6 %
4 Sexual abuse 65.8 %

Potret buram kekerasan ini menjadi keadaan yang memilukan bagi bangsa Indonesia. Korban atau survivor yang mengalami tindakan kekerasan akan mengalami trauma psikis yang jika berkelanjutan akan mengalami gangguan Post-Traumatic Stress Disorder . Jika survivor tidak mendapatkan penanganan psikologis yang adekuat, maka gangguan PTSD ini akan menghambat keberfungsian klien secara optimal dalam kehidupan sehari-harinya.
Untuk itu perlu adanya tindakan prevensi atas terus meningkatnya kekerasan di berbagai sektor kehidupan. Selain tindakan prevensi perlu juga diusahakan tindakan penanganan psikologis untuk korban kekerasan (survivor). Tindakan penanganan psikologis ini membutuhkan proses asesmen untuk memahami dampak negatif dari kejadian traumatis yang dialami klien. Salah satu yang penulis review dalam makalah ini adalah Impact of event scale (IES) yang dibuat oleh Horowits, Wilner dan Alvarez (1979) sebagai pioner penciptaan asesemen untuk PTSD.

PEMBAHASAN


Impact of event scale (IES) yang dibuat oleh Horowits, Wilner dan Alvarez (1979) untuk mengukur distres subyektif saat ini yang berhubungan dengan persitiwa traumatis. Horowitz mengobservasi respon yang umumnya dilaporkan oleh klien tentang pengalaman traumanya masuk dalam dua kategori besar yaitu intrusion dan avoidance. Skala IES ini merupakan satu dari alat yang mengukur gangguan PTSD. IES merupakan skala yang berbentuk self-report yang mudah diadministrasikan dan efisien. Skala ini bisa digunakan untuk pengukuran berulang dalam rentang periode waktu tertentu. Skala IES ini juga sensitif dalam mengukur perubahan yang terjadi pada klien setelah mengikuti terapi dan bisa juga digunakan untuk memonitor perkembangan klien selama terapi.
IES berisi 15 aitem, 7 aitem mengukur symptom intrusive dan 8 aitem mengukur symptom avoidance. Semua aitem IES dihubungkan dengan situasi yang spesifik. Responden diminta untuk mengukur aitem pada empat pilihan jawaban yang berkaitan dengan seberapa sering setiap pernyataan dialami selama tujuh hari yang lalu. Pilihan jawaban tersebut tidak sama sekali skor = 0, jarang skornya = 1, kadang-kadang skornya = 3, dan sering skornya = 5.

Reliabilitas alat ukur


Corcoran & Fisher (1994) menemukan bahwa subskala IES memiliki konsistensi internal yang sangat baik berdasar dua kelompok terpisah yang berbeda. Koefisien korelasi aitem berkisar antara 0.79 sampai 0.92, dengan rata-rata 0.86 untuk subskala intrusive dan 0.90 untuk subskala avoidance.
Penelitian yang dilakukan Horowitz (1979) dari data 66 subyek menghasilkan mean skor total 15 aitemnya sebesar 39.5 (SD= 17.2, jarak 0-69). Mean subskala intrusive sebesar 21.4 (SD =9.6, jarak 0-35). Mean subskala avoidance sebesar 18.2 (SD = 10.8, jarak 0-38).
Reliabilitas belah-dua (split-haft) Cronbach alpha dari skala IES ini memiliki skor yang tinggi sebesar r = 0.86. Konsistensi internal dari subskalanya intrusion dan avoidance juga memiliki skor yang cukup tinggi sebesar 0.78 intrusion dan 0.82 untuk subskala avoidance.
Reliabilitas tes-ulang (test-retest) dari skala IES ini menghasilkan skor sebesar 0.87 untuk seluruh aitem. Sedangkan perhitungan reliabilitas subskala IES menghasilkan 0.89 untuk intrusion dan 0.79 untuk subskala avoidance.

Validitas Kriteria


Penelitian Corcoran & Fischer (1994) menunjukkan IES sensitif dalam mengukur perubahan yang terjadi pada klien, dan bisa diandalkan. Khususnya yang berkaitan dengan symptom PTSD. Signifikansi ditunjukkan dengan perubahan skor klien setelah menjalani terapi. Horowitz et al (1994) juga menemukan bahwa IES ini efektif dalam membedakan antara individu yang mengalami trauma dengan individu biasa. Perbedaan anatar dua kelompok tersebut sangat singnifikan dengan F = 212.1, p ,0.0001 untuk subskala intrusion; dan F = 73.0, p< f =" 170.8," skornya =" 0," jarang =" 1," kadang =" 3" sering =" 5." 8 =" Kategori" 25 =" Kategori" 43 =" Kategori"> = Kategori berat

Norma : Data untuk membuat norma diambil oleh Corcoran & Fischer (1994) yang berasal dari dua sampel. Sampel satu berasal dari 35 subyek yang mengikuti proses terapi akibat kematian orang tuanya yang menimbulkan trauma. Sampel kedua diambil dari 37 subyek dewasa sukarela yang baru saja mengalami kematian orang tuanya, tetapi tidak mengikuti sesi terapi apapun.

KESIMPULAN

Skala Impact of Event ini perlu diuji-coba kembali jika ingin diterapkan dan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Corcoran, K & Fischer, J. 1994. Measures for Clinical Practice : A sourcebook. 3rd Ed. Vol 2 Adults. New York : The Free Press

Briere, J. 1997. Psychological assesment of adult posttraumatic states. Washington, D.C. : American Psychological Association.

Horowitz, M. Wilmer, M. & Alvarez, W. 1979. Impact of event Scale : A Measure of subjective stress. Psychosomatic Medicine. 14, 209-218.

Weiss, D & Marmar, C. 1997. The Impact of Events scale-revised. In J. Wilson & T. Keane (Eds). Assessing psychological trauma and PTSD. New York : Guildford.

LAMPIRAN

Skala IES terjemahan
Petunjuk :

Di bawah ini terdapat beberapa pengalaman yang dialami seseorang setelah mengalami peristiwa traumatis hidupnya. Coba Anda indikasikan seberapa sering pengalaman ini Anda alami sepanjang TUJUH HARI YANG LALU setelah Anda mengalami kejadian traumatis tersebut.

No Pernyataan-pernyataan (Tidak sama sekali Jarang Kadang-kadang Sering)
1 Saya berpikir tentang kejadian ...... ketika sebenarnya saya tidak ingin
memikirkannya.
2 Saya mencoba menghindari diri saya untuk menjadi sedih ketika saya
berpikir tentang ......... (pengalaman traumatis) atau teringat tentang .....
3 Saya mencoba untuk menghilangan .....(pengalaman traumatis) tersebut dari ingatan
saya.
4 Saya memiliki kesulitan untuk tidur atau tetap tidur karena pikiran atau gambaran
tentang ....... memasuki pikiran saya.
5 Saya merasakan gejolak perasaan yang kuat tentang .........
6 Saya bermimpi tentang .......
7 Saya berusaha menghindari hal-hal yang mengingatkan saya akan .......
8 Saya merasa seolah-olah kejadian ..... tidak terjadi atau tidak nyata.
9 Saya mencoba untuk tidak membicarakan kejadian ......
10 Gambaran
kejadian ......... bermunculan dalam pikiran saya.
11 Hal-hal lain tetap membuat saya berpikir tentang kejadian ......
12 Saya menyadari, bahwa saya masih memiliki perasaan tertekan yang bergejolak
tentang kejadian ....., tetapi saya tidak dapat menerimanya dengan lega.
13 Saya mencoba untuk tidak memikirkan kejadian ......
14 Hal-hal/benda yang berhubungan dengan kejadian itu, memunculkan kembali gejolak
perasaan tentang ........
15 Perasaan saya tentang kejadian itu seperti mati rasa.

The Impact of Event Scale

Below is a list of comments made by people after stressful life events. Using the following scale, lease indicate (with a ) how frequently each of these comments were true for you DURING THE PAST SEVEN DAYS

No Comments (Not at all, rarely, sometimes, often)
1 I thought about it when I didn’t mean to
2 I avoided letting myself get upset when I thought about it or was reminded of it
3 I tried to remove it from memory
4 I had trouble falling asleep or staying asleep because of pictures or thougts
about it that came into my mind
5 I had waves of strong feelings about it
6 I had dreams about it
7 I stayed away from reminders of it
8 I felt as if it hadn’t happened or wasn’t real
9 I tried not to talk about it
10 Pictures about it popped up into my mind
11 Other things kept making me think about it
12 I was aware that i still had alot of feelings about it, but I didn’t deal with
them
13 I tried not to think about it
14 Any reminder brouht back feelings about it
15 My feelings about it were kind of numb